(PROVINSI FLORES)
Merujuk pada PP RI No. 78
Tahun 2007 ttg Tata Cara Pembentukan, Penghapusan, dan Penggabungan Daerah.
O l e h:
ORGANISASI PENGAWASAN RAKYAT (OPR)
ORGANISASI PENGAWASAN RAKYAT (OPR)
A. DASAR HUKUM PEMBENTUKAN
WILAYAH
(Fokus Pada Wilayah Provinsi)
(Fokus Pada Wilayah Provinsi)
1. UUD 1945, BAB VI
PEMERINTAHAN DAERAH PASAL 18
* (1) Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah propinsi dan daerah propinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap propinsi,kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang.
* (1) Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah propinsi dan daerah propinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap propinsi,kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang.
* Perubahan II 18 Agustus
2000, sebelumnya berbunyi : Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan
kecil dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan Undang-undang,
dengan memandang dan mengingati dasar permusyawaratan dalam sistim Pemerintahan
Negara, dan hak-hak asal-usul dalam daerah yang bersifat istimewa.
2. Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437)
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2005 tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005
tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah
Daerah menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005
Nomor 108, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4548);
3. PP RI No. 78 Tahun 2007
ttg Tata Cara Pembentukan, Penghapusan, dan Penggabungan Daerah. (Ditetapkan di
Jakarta pada tanggal 10 Desember 2007 Diundangkan di Jakarta pada tanggal 10
Desember 2007 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2007 NOMOR 162)
B. SYARAT PEMBENTUKAN
Merujuk pada PP 78/2007 ttg
Tata Cara Pembentukan, Penghapusan, dan Penggabungan Daerah. Pasal 4 aya 1
menyebutkan 3 syarat pembentukan wilayah administratif pemerintahan, termasuk
wilayah provinsi, yakni :
1. Syarat Administrasi ;
2. Syarat Teknis ; dan
3. Syarat Fisik Kewilayahan.
1. Syarat Administrasi ;
2. Syarat Teknis ; dan
3. Syarat Fisik Kewilayahan.
Pasal 4 (1)
Pembentukan daerah provinsi berupa pemekaran provinsi dan penggabungan beberapa kabupaten/kota yang bersandingan pada wilayah provinsi yang berbeda harus memenuhi syarat administratif, teknis, dan fisik kewilayahan.
Pembentukan daerah provinsi berupa pemekaran provinsi dan penggabungan beberapa kabupaten/kota yang bersandingan pada wilayah provinsi yang berbeda harus memenuhi syarat administratif, teknis, dan fisik kewilayahan.
1.1. SYARAT ADMINISTRASI
Diatur lebih lanjut dalam
Pasal 5 ayat 1, menegaskan ;
Syarat administratif pembentukan daerah provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) meliputi:
a. Keputusan masing-masing DPRD kabupaten/kota yang akan menjadi cakupan wilayah calon provinsi tentang persetujuan pembentukan calon provinsi berdasarkan hasil Rapat Paripurna;
b. Keputusan bupati/walikota ditetapkan dengan keputusan bersama bupati/walikota wilayah calon provinsi tentang persetujuan pembentukan calon provinsi;
c. Keputusan DPRD provinsi induk tentang persetujuan pembentukan calon provinsi berdasarkan hasil Rapat Paripurna;
d. Keputusan gubernur tentang persetujuan pembentukan calon provinsi; dan
e. Rekomendasi Menteri.
Syarat administratif pembentukan daerah provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) meliputi:
a. Keputusan masing-masing DPRD kabupaten/kota yang akan menjadi cakupan wilayah calon provinsi tentang persetujuan pembentukan calon provinsi berdasarkan hasil Rapat Paripurna;
b. Keputusan bupati/walikota ditetapkan dengan keputusan bersama bupati/walikota wilayah calon provinsi tentang persetujuan pembentukan calon provinsi;
c. Keputusan DPRD provinsi induk tentang persetujuan pembentukan calon provinsi berdasarkan hasil Rapat Paripurna;
d. Keputusan gubernur tentang persetujuan pembentukan calon provinsi; dan
e. Rekomendasi Menteri.
Dari ketentuan pasal 5 ayat
1 ini terdapat 5 (lima) syarat administrasi, sehingga dengan memenuhi ke-5
syarat ini maka secara administrasi Provinsi Flores bisa terbentuk. Tentu
sangat tergantung pada kemauan politik (Political Will) antara pihak eksekutif
dan legislatif, baik di tingkat kabupaten se-Flores maupun antara Gubernur dan
DPRD NTT.
2.2. SYARAT TEKNIS
Diatur dalam Pasal 6 (3 ayat), yakni ;
(1) Syarat teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 meliputi faktor kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial budaya, sosial politik, kependudukan, luas daerah, pertahanan, keamanan, kemampuan keuangan, tingkat kesejahteraan masyarakat, dan rentang kendal penyelenggaraan pemerintahan daerah.
(2) Faktor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinilai berdasarkan hasil kajian daerah terhadap indikator sebagaimana tercantum dalam lampiran yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Pemerintah ini.
(3) Suatu calon daerah otonom direkomendasikan menjadi daerah otonom baru apabila calon daerah otonom dan daerah induknya mempunyai total nilai seluruh indikator dan perolehan nilai indikator faktor kependudukan, faktor kemampuan ekonomi, faktor potensi daerah dan faktor kemampuan keuangan dengan kategori sangat mampu atau mampu.
Diatur dalam Pasal 6 (3 ayat), yakni ;
(1) Syarat teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 meliputi faktor kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial budaya, sosial politik, kependudukan, luas daerah, pertahanan, keamanan, kemampuan keuangan, tingkat kesejahteraan masyarakat, dan rentang kendal penyelenggaraan pemerintahan daerah.
(2) Faktor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinilai berdasarkan hasil kajian daerah terhadap indikator sebagaimana tercantum dalam lampiran yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Pemerintah ini.
(3) Suatu calon daerah otonom direkomendasikan menjadi daerah otonom baru apabila calon daerah otonom dan daerah induknya mempunyai total nilai seluruh indikator dan perolehan nilai indikator faktor kependudukan, faktor kemampuan ekonomi, faktor potensi daerah dan faktor kemampuan keuangan dengan kategori sangat mampu atau mampu.
3.3. SYARAT FISIK
Diatur dlm pasal 7, 8,9,11,12, dan 13 : Pasal 7
Diatur dlm pasal 7, 8,9,11,12, dan 13 : Pasal 7
Syarat fisik kewilayahan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 meliputi cakupan wilayah, lokasi calon
ibukota, sarana dan prasarana pemerintahan.
Pasal 8
Cakupan wilayah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 untuk:
a. pembentukan provinsi paling sedikit 5 (lima) kabupaten/kota;
b. pembentukan kabupaten paling sedikit 5 (lima) kecamatan; dan
c. pembentukan kota paling sedikit 4 (empat) kecamatan.
Cakupan wilayah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 untuk:
a. pembentukan provinsi paling sedikit 5 (lima) kabupaten/kota;
b. pembentukan kabupaten paling sedikit 5 (lima) kecamatan; dan
c. pembentukan kota paling sedikit 4 (empat) kecamatan.
Dari ketentuan pasal 8
huruf a, Flores memiliki kabupaten yang melebih ketentuan dimaksud.
Pasal 9
(1) Cakupan wilayah
pembentukan provinsi digambarkan dalam peta wilayah calon provinsi.
(2) Peta wilayah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilengkapi dengan daftar nama kabupaten/kota dan kecamatan yang menjadi cakupan calon provinsi serta garis batas wilayah calon provinsi dan nama wilayah kabupaten/kota di provinsi lain, nama wilayah laut atau wilayah negara tetangga yang berbatasan langsung dengan calon provinsi.
(3) Peta wilayah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibuat berdasarkan kaidah pemetaan yang difasilitasi oleh lembaga teknis dan dikoordinasikan oleh Menteri.
(2) Peta wilayah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilengkapi dengan daftar nama kabupaten/kota dan kecamatan yang menjadi cakupan calon provinsi serta garis batas wilayah calon provinsi dan nama wilayah kabupaten/kota di provinsi lain, nama wilayah laut atau wilayah negara tetangga yang berbatasan langsung dengan calon provinsi.
(3) Peta wilayah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibuat berdasarkan kaidah pemetaan yang difasilitasi oleh lembaga teknis dan dikoordinasikan oleh Menteri.
Pasal 11
(1) Dalam hal cakupan wilayah
calon provinsi dan kabupaten/kota berupa kepulauan atau gugusan pulau, peta
wilayah harus dilengkapi dengan daftar nama pulau.
(2) Cakupan wilayah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) dan Pasal 10 ayat (1) harus merupakan satu kesatuan wilayah administrasi.
(2) Cakupan wilayah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) dan Pasal 10 ayat (1) harus merupakan satu kesatuan wilayah administrasi.
Pasal 12
(1) Lokasi calon ibukota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ditetapkan dengan keputusan gubernur dan keputusan DPRD provinsi untuk ibukota provinsi, dengan keputusan bupati dan keputusan DPRD kabupaten untuk ibukota kabupaten.
(2) Penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan hanya untuk satu lokasi ibukota.
(3) Penetapan lokasi ibukota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan setelah adanya kajian daerah terhadap aspek tata ruang, ketersediaan fasilitas, aksesibilitas, kondisi dan letak geografis, kependudukan, sosial ekonomi, sosial politik, dan sosial budaya.
(4) Pembentukan kota yang cakupan wilayahnya merupakan ibukota kabupaten, maka ibukota kabupaten tersebut harus dipindahkan ke lokasi lain secara bertahap paling lama 5 (lima) tahun sejak dibentuknya kota.
(1) Lokasi calon ibukota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ditetapkan dengan keputusan gubernur dan keputusan DPRD provinsi untuk ibukota provinsi, dengan keputusan bupati dan keputusan DPRD kabupaten untuk ibukota kabupaten.
(2) Penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan hanya untuk satu lokasi ibukota.
(3) Penetapan lokasi ibukota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan setelah adanya kajian daerah terhadap aspek tata ruang, ketersediaan fasilitas, aksesibilitas, kondisi dan letak geografis, kependudukan, sosial ekonomi, sosial politik, dan sosial budaya.
(4) Pembentukan kota yang cakupan wilayahnya merupakan ibukota kabupaten, maka ibukota kabupaten tersebut harus dipindahkan ke lokasi lain secara bertahap paling lama 5 (lima) tahun sejak dibentuknya kota.
Pasal 13
(1) Sarana dan prasarana pemerintahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 meliputi bangunan dan lahan untuk kantor kepala daerah, kantor DPRD, dan kantor perangkat daerah yang dapat digunakan untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat.
(2) Bangunan dan lahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berada dalam wilayah calon daerah.
(3) Lahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dimiliki pemerintah daerah dengan bukti kepemilikan yang sah.
(1) Sarana dan prasarana pemerintahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 meliputi bangunan dan lahan untuk kantor kepala daerah, kantor DPRD, dan kantor perangkat daerah yang dapat digunakan untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat.
(2) Bangunan dan lahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berada dalam wilayah calon daerah.
(3) Lahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dimiliki pemerintah daerah dengan bukti kepemilikan yang sah.
C. TATA CARA PEMBENTUKAN
(Diatur dalam pasal 14 dan 15, yakni)
(Diatur dalam pasal 14 dan 15, yakni)
Pasal 14
Pembentukan daerah provinsi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf a dilaksanakan dengan tahapan
sebagai berikut:
a. Aspirasi sebagian besar masyarakat setempat dalam bentuk Keputusan BPD untuk Desa dan Forum Komunikasi Kelurahan atau nama lain untuk Kelurahan di wilayah yang menjadi calon cakupan wilayah provinsi atau kabupaten/kota yang akan dimekarkan.
b. Keputusan DPRD kabupaten/kota berdasarkan aspirasi sebagian besar masyarakat setempat;
c. Bupati/walikota dapat memutuskan untuk menyetujui atau menolak aspirasi sebagaimana dimaksud pada huruf a dalam bentuk keputusan bupati/walikota berdasarkan hasil kajian daerah.
d. Keputusan masing-masing bupati/walikota sebagaimana dimaksud pada huruf c disampaikan kepada gubernur dengan melampirkan:
1. Dokumen aspirasi masyarakat; dan
2. Keputusan DPRD kabupaten/kota dan keputusan bupati/ walikota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a dan huruf b.
e. Dalam hal gubernur menyetujui usulan pembentukan provinsi sebagaimana yang diusulkan oleh bupati/walikota dan berdasarkan hasil kajian daerah, usulan pembentukan provinsi tersebut selanjutnya disampaikan kepada DPRD provinsi;
f. Setelah adanya keputusan persetujuan dari DPRD provinsi, gubernur menyampaikan usulan pembentukan provinsi kepada Presiden melalui Menteri dengan melampirkan:
1. Hasil kajian daerah;
2. Peta wilayah calon provinsi;
3. Keputusan DPRD kabupaten/kota dan keputusan bupati / walikota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a dan huruf b; dan
4. Keputusan DPRD provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf c dan keputusan gubernur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf d.
a. Aspirasi sebagian besar masyarakat setempat dalam bentuk Keputusan BPD untuk Desa dan Forum Komunikasi Kelurahan atau nama lain untuk Kelurahan di wilayah yang menjadi calon cakupan wilayah provinsi atau kabupaten/kota yang akan dimekarkan.
b. Keputusan DPRD kabupaten/kota berdasarkan aspirasi sebagian besar masyarakat setempat;
c. Bupati/walikota dapat memutuskan untuk menyetujui atau menolak aspirasi sebagaimana dimaksud pada huruf a dalam bentuk keputusan bupati/walikota berdasarkan hasil kajian daerah.
d. Keputusan masing-masing bupati/walikota sebagaimana dimaksud pada huruf c disampaikan kepada gubernur dengan melampirkan:
1. Dokumen aspirasi masyarakat; dan
2. Keputusan DPRD kabupaten/kota dan keputusan bupati/ walikota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a dan huruf b.
e. Dalam hal gubernur menyetujui usulan pembentukan provinsi sebagaimana yang diusulkan oleh bupati/walikota dan berdasarkan hasil kajian daerah, usulan pembentukan provinsi tersebut selanjutnya disampaikan kepada DPRD provinsi;
f. Setelah adanya keputusan persetujuan dari DPRD provinsi, gubernur menyampaikan usulan pembentukan provinsi kepada Presiden melalui Menteri dengan melampirkan:
1. Hasil kajian daerah;
2. Peta wilayah calon provinsi;
3. Keputusan DPRD kabupaten/kota dan keputusan bupati / walikota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a dan huruf b; dan
4. Keputusan DPRD provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf c dan keputusan gubernur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf d.
Pasal 15
Pembentukan daerah provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf b dilaksanakan dengan tahapan sebagai berikut:
a. Aspirasi sebagian besar masyarakat setempat dalam bentuk Keputusan BPD untuk Desa dan Forum Komunikasi Kelurahan atau nama lain untuk Kelurahan di wilayah yang menjadi calon cakupan wilayah provinsi atau kabupaten/kota yang akan dimekarkan.
b. Keputusan DPRD kabupaten/kota berdasarkan aspirasi sebagian besar masyarakat setempat;
c. Bupati/walikota dapat memutuskan untuk menyetujui atau menolak aspirasi sebagaimana dimaksud dalam huruf a dalam bentuk keputusan bupati/walikota;
d. Keputusan masing-masing bupati/walikota sebagaimana dimaksud dalam huruf c disampaikan kepada masing-masing gubernur yang bersangkutan dengan melampirkan:
1. Dokumen aspirasi masyarakat; dan
2. Keputusan DPRD kabupaten/kota dan keputusan bupati/ walikota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a dan huruf b.
e. Dalam hal gubernur menyetujui usulan pembentukan provinsi sebagaimana yang diusulkan oleh bupati/walikota dan berdasarkan hasil kajian daerah, usulan pembentukan provinsi tersebut selanjutnya disampaikan kepada DPRD provinsi yang bersangkutan;
f. Setelah adanya keputusan persetujuan dari DPRD provinsi, masing-masing gubernur menyampaikan usulan pembentukan provinsi kepada Presiden melalui Menteri dengan melampirkan:
1. Hasil kajian daerah;
2. Peta wilayah calon provinsi;
3. Keputusan DPRD kabupaten/kota dan keputusan bupati/ walikota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a dan huruf b; dan
4. Keputusan DPRD provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf c dan keputusan gubernur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf d.
Pembentukan daerah provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf b dilaksanakan dengan tahapan sebagai berikut:
a. Aspirasi sebagian besar masyarakat setempat dalam bentuk Keputusan BPD untuk Desa dan Forum Komunikasi Kelurahan atau nama lain untuk Kelurahan di wilayah yang menjadi calon cakupan wilayah provinsi atau kabupaten/kota yang akan dimekarkan.
b. Keputusan DPRD kabupaten/kota berdasarkan aspirasi sebagian besar masyarakat setempat;
c. Bupati/walikota dapat memutuskan untuk menyetujui atau menolak aspirasi sebagaimana dimaksud dalam huruf a dalam bentuk keputusan bupati/walikota;
d. Keputusan masing-masing bupati/walikota sebagaimana dimaksud dalam huruf c disampaikan kepada masing-masing gubernur yang bersangkutan dengan melampirkan:
1. Dokumen aspirasi masyarakat; dan
2. Keputusan DPRD kabupaten/kota dan keputusan bupati/ walikota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a dan huruf b.
e. Dalam hal gubernur menyetujui usulan pembentukan provinsi sebagaimana yang diusulkan oleh bupati/walikota dan berdasarkan hasil kajian daerah, usulan pembentukan provinsi tersebut selanjutnya disampaikan kepada DPRD provinsi yang bersangkutan;
f. Setelah adanya keputusan persetujuan dari DPRD provinsi, masing-masing gubernur menyampaikan usulan pembentukan provinsi kepada Presiden melalui Menteri dengan melampirkan:
1. Hasil kajian daerah;
2. Peta wilayah calon provinsi;
3. Keputusan DPRD kabupaten/kota dan keputusan bupati/ walikota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a dan huruf b; dan
4. Keputusan DPRD provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf c dan keputusan gubernur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf d.
D. PENDANAAN
Diatur dalam pasal Pasal 26 ayat 1, yakni : Dana yang diperlukan dalam rangka pembentukan provinsi dibebankan pada APBD provinsi induk dan APBD kabupaten/kota yang menjadi cakupan calon provinsi.
Diatur dalam pasal Pasal 26 ayat 1, yakni : Dana yang diperlukan dalam rangka pembentukan provinsi dibebankan pada APBD provinsi induk dan APBD kabupaten/kota yang menjadi cakupan calon provinsi.
E. PENILAIAN SYARAT TEKNIK
Diatur dalam PERATURAN
PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 78 Tahun 2007 TANGGAL : 10 Desember 2007
(terlampir)
F. CATATAN AKHIR
Dari
berbagai uraian mulai pd bagian A-D di atas, sesungguhnya inilah yang menjadi
fokus kegiatan PANITIA PEMBENTUKAN PROVINSI FLORES (P4F) antara lain sbb :
1. Mendorong 10 bupati dan 10 DPRD se-Flores ; dan
2. Gubernur serta Pimpinan DPRD Provinsi induk NTT.
Tujuannya :
1. Para pihak otoritas terkait dimaksud diharapkan segera penuhi 3 syarat utama diatas dengan segala penjabaranya.
2. Terkait tujuan poin 1 sehingga Gubernur NTT terpilih hasil Pemilukada putaran 2 Tanggal 23 Mei 2013 dapat segera ajukan usulan ke Pemerintah Pusat di Jakarta melalui Menteri Dalam Negeri, selambatnya akhir Tahun 2013.
3. Terkait tujuan poin 3, pemeritah pusat menindaklanjutinya dalam berbagai tahapan kegiatan selanjutnya, hingga penyusunan dan pengesahan UU khusus oleh Pemerintah dan DPR RI sebagai dasar hukum Pembentukan Daerah Provinsi NTT, selambatnya ...... Tahun 2915...... !!?
Inilah salah satu ‘LIT’ / TOP PROGRAM ORGANISASI PENGAWASAN RAKYAT (OPR) bekerjasama dengan Koordinator Program OXFAM PAPUA, melalui P4F. Tentu tidak ringan, tetapi disanalah letak bobot perjuangan P4F dakam rangka mewujudkan kehendak mayoritas 1,7 Rakyat Flores yg tersebar di 10 kabupaten, 206 kecamatan dan 1.322 desa/kelurahan se-Flores. Yang telah dimulai pertengahan Mei Tahun 1956 dan Juni 1957 oleh Partai Katolik selaku Pemenang Pemilu Pertama di Indonesia Tahun 1955 untuk wilayah Flores, dalam konfrensi partai ini di Nele-Sika dan Ende. Terakhir coba dilanjutkan oleh sebuah wadah bernama MUSYAWARAH BESAR (MUBES)ORANG FLORES, yg dihariri para bupati, DPRD, dan unsur muspida serta para tokoh/sesepuh di NTT dan Flores yang berlangsung di Ruteng-Manggarai Tahun 2004. Namun hasilnya masih belum jelas juga.
Bagaimana dengan kehadiran P4F, mampukah merubah impian yang muncul sejak lebih dari separoh abad silam, jauh-jauh sebelum kelahiran Provinsi NTT Tahun 1958 ini jadi kenyataan.....??! Biarlah waktu yang menjawabnya.
1. Mendorong 10 bupati dan 10 DPRD se-Flores ; dan
2. Gubernur serta Pimpinan DPRD Provinsi induk NTT.
Tujuannya :
1. Para pihak otoritas terkait dimaksud diharapkan segera penuhi 3 syarat utama diatas dengan segala penjabaranya.
2. Terkait tujuan poin 1 sehingga Gubernur NTT terpilih hasil Pemilukada putaran 2 Tanggal 23 Mei 2013 dapat segera ajukan usulan ke Pemerintah Pusat di Jakarta melalui Menteri Dalam Negeri, selambatnya akhir Tahun 2013.
3. Terkait tujuan poin 3, pemeritah pusat menindaklanjutinya dalam berbagai tahapan kegiatan selanjutnya, hingga penyusunan dan pengesahan UU khusus oleh Pemerintah dan DPR RI sebagai dasar hukum Pembentukan Daerah Provinsi NTT, selambatnya ...... Tahun 2915...... !!?
Inilah salah satu ‘LIT’ / TOP PROGRAM ORGANISASI PENGAWASAN RAKYAT (OPR) bekerjasama dengan Koordinator Program OXFAM PAPUA, melalui P4F. Tentu tidak ringan, tetapi disanalah letak bobot perjuangan P4F dakam rangka mewujudkan kehendak mayoritas 1,7 Rakyat Flores yg tersebar di 10 kabupaten, 206 kecamatan dan 1.322 desa/kelurahan se-Flores. Yang telah dimulai pertengahan Mei Tahun 1956 dan Juni 1957 oleh Partai Katolik selaku Pemenang Pemilu Pertama di Indonesia Tahun 1955 untuk wilayah Flores, dalam konfrensi partai ini di Nele-Sika dan Ende. Terakhir coba dilanjutkan oleh sebuah wadah bernama MUSYAWARAH BESAR (MUBES)ORANG FLORES, yg dihariri para bupati, DPRD, dan unsur muspida serta para tokoh/sesepuh di NTT dan Flores yang berlangsung di Ruteng-Manggarai Tahun 2004. Namun hasilnya masih belum jelas juga.
Bagaimana dengan kehadiran P4F, mampukah merubah impian yang muncul sejak lebih dari separoh abad silam, jauh-jauh sebelum kelahiran Provinsi NTT Tahun 1958 ini jadi kenyataan.....??! Biarlah waktu yang menjawabnya.
Pengertian
Kebijakan Fiskal
Kebijakan fiskal merupakan kebijakan
pemerintah yang dilakukan dengan cara mempengaruhi sisi penerimaan maupun sisi
pengeluaran pada APBN. Segala macam kebijakan yang berkaitan dengan APBN
digolongkan sebagai kebijakan fiskal, misalnya kebijakan bidang perpajakan,
kebijakan hutang luar negeri, dan kebijakan peningkatan pengeluaran pemerintah.
Pemerintah seringkali menghadapi masalah defisit anggaran sehingga memerlukan
satu set kebijakan fiskal untuk mengatasinya. Ada beberapa sumber pembiayaan
defisit anggaran, diantaranya yaitu:
a. Pajak
b. Mencetak uang baru c. Pinjaman masyarakat dalam negeri d. Pinjaman
masyarakat luar negeri
Pada bab 3 telah dibahas dua macam jenis
pajak, yaitu pajak tetap atau lump-sum tax dan pajak proporsional. Pajak tetap
merupakan pajak yang jumlah dan besarnya tidak tergantung pada tingkat
pendapatan, berapapun pendapatan, besarnya pajak sama. Dalam kenyataannya
sebagian besar pajak, baik pajak langsung maupun pajak tidak langsung
berhubungan erat dengan pendapatan. Pajak pendapatan, pajak perseroan, dan
pajak kekayaan merupakan jenis pajak langsung yang sangat berkaitan dengan
pendapatan. Begitu pula dengan pajak penjualan, bea masuk, dan cukai merupakan
contoh pajak tidak langsung yang besarnya juga tergantung pada tingkat pendapatan
dari transaksinya. Dengan kata lain, semakin besar pendapatan, maka semakin
besar pajak yang harus ditanggung begitu pula sebaliknya. Dalam bentuk
persamaan dapat dituliskan hubungan antara pajak dan pendapatan, yaitu:
T = T0 + t Y
Karena pajak berkaitan dengan pendapatan, maka
penerimaan pemerintah dari pajak sangat tergantung pada tingkat pendapatan
masyarakat. Pajak dalam alur perputaran ekonomi digolongkan sebagai variabel
kebocoran (leakages) sehingga bila pemerintah ingin meningkatkan penerimaan
pemerintah dari pajak, maka konsekuensinya adalah makin tingginya kebocoran.
Dengan kata lain, pajak dapat mengakibatkan turunnya daya beli masyarakat
karena mengurangi pendapatan siap konsumsi (disposible income) yang nilainya:
148 PENGANTAR EKONOMIKA MAKRO
Yd = Y –
TX + Tr
Dengan demikian, semakin besar defisit
anggaran pemerintah dan bila pemerintah membiayainya dengan meningkatkan pajak,
maka daya beli masyarakat akan terus menurun.
Pemerintah dapat juga membiayai defisit anggaran dengan meminjam dana
dari bank sentral. Bank sentral akan membiayai pinjaman tersebut dengan
mencetak uang baru. Pembiayaan pinjaman pemerintah yang dibiayai dengan
mencetak uang baru akan mengakibatkan jumlah uang beredar meningkat. Sesuai
dengan teori kuantitas, penambahan jumlah uang beredar akan dapat mengakibatkan
inflasi. Dengan demikian semakin besar defisit anggaran pemerintah yang
dibiayai dengan mencetak uang baru, maka semakin besar pula risiko terjadinya
inflasi. Pemerintah dapat menghimpun dan meminjam dana masyarakat dalam
negeri untuk membiayai defisit anggarannya. Mekanisme penghimpunan dana itu
adalah melalui penerbitan surat hutang atau obligasi pemerintah yang dijual
(float) kepada masyarakat di pasar uang. Pemerintah akan membayar obligasi itu
pada saat jatuh tempo beserta bunga dari obligasi tersebut. Untuk menarik
masyarakat mau membeli surat hutang itu, maka biasanya pemerintah menawarkan
tingkat bunga yang lebih besar dari pada tingkat bunga yang berlaku di bank
umum. Pinjaman kepada masyarakat dalam negeri biasanya dalam bentuk mata uang
dalam negeri. Sumber pembiayaan defisit
anggaran yang terakhir adalah pinjaman pada masyarakat luar negeri. Seperti
halnya pinjaman pada masyarakat dalam negeri, pinjaman pada masyarakat luar negeri
dilakukan dengan cara menjual surat berharga atau obligasi di pasar uang
internasional. Dana yang diperoleh dari jenis sumber pembiayaan ini biasanya
dalam bentuk mata uang asing dan devisa. Sumber pembiayaan ini cocok untuk
membiayai defisit neraca pembayaran internasional.
Kebijakan
Fiskal yang Disengaja
Kebijakan fiskal yang disengaja
(discretionary) adalah kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah untuk
menanggulangi gelombang konjungtur dengan cara memanipulasi anggaran belanja
secara sengaja. Kebijakan fiskal yang disengaja ini dapat berupa mengubah
aturan tentang perpajakan ataupun mengubah pengeluaran pemerintah. Dari usaha
ini terlihat seberapa jauh peranan pemerintah dalam melakukan campur tangan
dalam pengaturan perekonomian. Kasus 1
berikut menunjukkan bahwa pajak dan transfer yang dilakukan pemerintah akan
berpengaruh terhadap pengeluaran konsumsi dan tabungan masyarakat. Seperti
telah diuraikan pada bab perhitungan nasional, pajak akan mengurangi pendapatan
konsumen sehingga berkurangnya pendapatan akan menurunkan daya beli masyarakat
yang tercermin dari turunnya pengeluaran konsumsi masyarakat. Sebaliknya,
transfer pemerintah akan menambah pendapatan masyarakat sehingga pendapatan
disposibelnya akan meningkat pula.
BAB
8 KEBIJAKAN FISKAL DAN KEBIJAKAN
MONETER 149
Contoh 1
(Pengaruh Pajak Pada Konsumsi dan Tabungan)
Fungsi konsumsi masyarakat adalah C = 40
miliar rupiah + 0,75 Yd. Pemerintah menetapkan pajak sebesar Tx = 30 miliar
rupiah. Dari data tersebut,
Ditanya:
a. Hitunglah besarnya konsumsi dan
tabungan sebelum adanya pajak dari pemerintah! b. Hitunglah besarnya pengeluaran konsumsi dan
tabungan setelah adanya pajak, apabila tingkat pendapatannya 120 miliar
rupiah!
Jawab:
a. Besarnya C dan S apabila tanpa
pajak
Pengeluaran
Konsumsi C = 40 + 0,75 Yd C = 40 + 0,75 (120 - 0 + 0) C = 40 + 90 C = 130
miliar rupiah
Jadi
pengeluaran konsumsi sebelum adanya pajak adalah sebesar 130 miliar
rupiah.
Besarnya
Tabungan S = Yd – C S = (120 – 0) – 130 S = 120 – 130 S = -10
Jadi
besarnya tabungan adalah-10 miliar rupiah, atau dengan kata lain terjadi
dissaving sebesar 10 miliar rupiah.
b. Besarnya C dan S apabila pajak = 30 miliar rupiah
Pengeluaran
Konsumsi C = C0 + C atau C= C0 – c
Tx C = 130 – 0,75 x 30 C = 130 – 22,5 C = 107,5 miliar rupiah Jadi pengeluaran konsumsi setelah adanya
pajak adalah sebesar 107,5 miliar rupiah.
Tabungan
S = S0 + S atau S = S0 + (1- c ) (- Tx) S = -10 + (1 – 0,75) (-30) S = - 10
+ (- 7,5) S = - 17,5 miliar rupiah Jadi
besarnya tabungan dengan adanya pajak adalah sebesar - 17,5 miliar rupiah.
150 PENGANTAR EKONOMIKA MAKRO
Dari Contoh 1 diatas dapat dilihat bahwa pajak
akan mengurangi pengeluaran konsumsi dan tabungan masyarakat. Sebelum adanya
pajak, pengeluaran konsumsi sebesar 130 miliar rupiah, tetapi setelah adanya
pajak sebesar 30 miliar rupiah maka pengeluaran konsumsi masyarakat turun
menjadi 107,5 miliar rupiah. Begitupula dengan adanya pajak mengakibatkan
tabungan masyarakat akan turun dari -10 miliar rupiah menjadi 17,5 miliar
rupiah.
Contoh 2
(Pengaruh Transfer pada Konsumsi dan Tabungan)
Fungsi konsumsi masyarat adalah C = 40 miliar
rupiah + 0,75 Yd. Pemerintah menetapkan pajak sebesar Tx = 30 miliar rupiah
memberikan transfer sebesar Tr = 40
miliar rupiah. Dari data tersebut,
Ditanya:
a. Hitunglah besarnya pengeluaran
konsumsi dan tabungan setelah adanya tansfer dari pemerintah, apabila tingkat
pendapatannya 120 miliar rupiah. b.
Hitunglah besarnya pengeluaran konsumsi dan tabungan setelah adanya
pajak dan adanya transfer pemerintah apabila tingkat pendapatannya 120 miliar
rupiah.
Jawab:
Dengan menggunakan data konsumsi dan tabungan sebelum adanya pajak dan transfer
pada kasus 1, maka:
a.
Besarnya C dan S apabila ada transfer
Pengeluaran
Konsumsi C = C0 + C atau C= C0 + c
Tr C = 130 + 0,75 x 40 C = 130 + 30 C = 160 miliar rupiah Jadi pengeluaran konsumsi setelah dengan
adanya transfer sebesar 40 adalah sebesar 160 miliar rupiah.
Tabungan
S = S0 + S atau S = S0 + (1- c ) ( Tr) S = - 10 + (1 – 0,75) (40) S = - 10 +
10 S = 0 Jadi besarnya tabungan dengan
adanya transfer adalah sebesar nol.
BAB
8 KEBIJAKAN FISKAL DAN KEBIJAKAN
MONETER 151
b.
Besarnya C dan S apabila ada transfer dan ada pajak
Pengeluaran
Konsumsi C = C0 + C atau C= C0 + c (
Tr - Tx) C = 130 + 0,75 (40 – 30) C = 130 + 7,5 C = 137,5 miliar rupiah Jadi pengeluaran konsumsi setelah dengan
adanya transfer sebesar 40 dan pajak 30
adalah sebesar 137,5 miliar rupiah.
Tabungan
S = S0 + S atau S = S0 + (1- c ) ( Tr- Tx) S = - 10 + (1 – 0,75) (40 – 30)
S = - 10 + 2,5 S = - 7,5 Jadi besarnya
tabungan dengan adanya transfer dan pajak adalah sebesar -7,5 miliar
rupiah.
Berkebalikan dengan pajak, transfer
berpengaruh positif terhadap pengeluaran konsumsi dan tabungan. Dengan adanya
transfer sebesar 40 miliar rupiah, maka pengeluaran konsumsi naik dari 130
miliar menjadi 160 miliar rupiah. Begitupula dengan tabungan, dengan adanya
transfer, maka tabungan naik dari -10 miliar rupiah menjadi nol. Dari contoh 1 dan 2 tersebut dapat diketahui
bahwa pemerintah dapat mempengaruhi besarnya pendapatan nasional melalui pajak
dan transfer. Tingkat pendapatan nasional yang paling ideal adalah tingkat
pendapatan pada kondisi pengerjaan penuh (full employment).
KEBIJAKAN
MONETER
Instrumen
Kebijakan Moneter Kebijakan moneter
merupakan kebijakan pemerintah untuk mengendalikan pereko- nomian melalui
jumlah uang beredar (JUB) yang dilakukan oleh bank sentral. Dalam mengendalikan
jumlah uang beredar, ada beberapa instrumen kebijakan moneter yang biasa
digunakan, diantaranya adalah:
Tabel 8.1
Instrumen Kebijakan Moneter Kuantitatif dan Kualitatif
Instrumen
Kuantitatif Instrumen Kualitatif a. operasi pasar terbuka b. suku bunga
diskonto c. tingkat cadangan wajib d. kredit selektif e. bujukan moral
152 PENGANTAR EKONOMIKA MAKRO
Operasi pasar terbuka (open market operation).
Instrumen kebijakan operasi pasar terbuka dilakukan dengan cara menjual atau
membeli surat berharga, misalnya Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dan Surat
Berharga Pasar Uang (SBPU). Bank sentral menentukan untuk menjual ataupun
membeli surat berharga, tergantung pada kondisi perekonomian yang dihadapi.
Dalam kondisi perekonomian mengalami kelesuan, bank sentral akan menambah
jumlah uang beredar dengan cara membeli surat berharga. Dengan membeli surat
berharga, maka bank sentral akan membayar sejumlah surat berharga yang dibelinya
tersebut sehingga jumlah cadangan yang ada di bank umum akan bertambah. Dengan
bertambahnya jumlah uang beredar, maka diharapkan perputaran kegiatan ekonomi
lebih meningkat. Sebaliknya dalam kondisi overemployment, bank sentral akan
menjual surat berharga yang mereka miliki sehingga sebagian jumlah uang beredar
akan masuk ke rekening bank sentral dan jumlah tabungan giral milik masyarakat
dan cadangan bank umum akan berkurang. Ada dua syarat agar instrumen operasi
pasar terbuka ini berhasil mengatasi masalah overemployment dan
underemployment, yaitu:
a. Bank
umum tidak memiliki kelebihan cadangan. Kelebihan cadangan yang dimiliki bank
umum dapat digunakan untuk membeli surat berharga yang ada di bank sentral.
Dalam kondisi seperti ini bank umum tidak mengurangi jumlah uang giral yang
mereka miliki sehingga jumlah uang beredar tidak mengalami perubahan.
b. Ada
cukup banyak surat berharga yang dapat diperjualbelikan. Dengan banyaknya surat
berharga yang beredar dan dimiliki bank sentral, maka ada keleluasaan bank
sentral untuk melakukan jual beli atas surat berharga tersebut. Lemahnya pasar
uang dan sedikitnya jumlah surat berharga akan menghambat bekerjanya instrumen
kebijakan moneter ini.
Suku bunga diskonto (discount rate). Bank umum
dalam menjalankan kegiatannya memerlukan kepercayaan dari masyarakat, tanpa
adanya kepercayaan dari masyarakat, maka bank umum tidak mungkin mampu
berkembang. Salah satu cara menjaga kepercayaan masyarakat, bank harus mampu
menyediakan dana yang ditarik oleh masyarakat. Apabila bank umum mengalami
kekurangan dana, maka bank umum dapat meminjam dana dari bank sentral. Dalam
memberikan pinjaman, bank sentral menetapkan tingkat bunga diskonto pada bank
umum tersebut. Tingkat diskonto ini dapat digunakan oleh bank sentral untuk
mengendalikan perekonomian. Dalam kondisi perekonomian mengalami kelesuan, maka
bank sentral seharusnya menurunkan tingkat diskonto. Penurunan diskonto akan
mendorong bank umum untuk meminjam dana lebih banyak karena biaya bunga yang
harus ditanggung lebih ringan. Sebaliknya dalam kondisi perekonomian mengalami
overemployment, maka bank sentral akan meningkatkan tingkat diskontonya.
Peningkatan diskonto ini akan menghambat bank umum untuk meminjam dana yang
lebih banyak pada bank sentral. Tingkat
cadangan wajib (reserve requirement). Kelebihan cadangan yang dimiliki oleh
bank umum akan mengakibatkan ketidakberhasilan instrumen operasi pasar terbuka
dan tingkat diskonto. Untuk itu, bank sentral dapat mewajibkan bank umum untuk
meningkatkan persentase cadangan wajib yang harus diserahkan ke bank sentral.
Dengan meningkatkan persentase cadangan wajib, maka kelebihan cadangan milik
bank umum dapat dikurangi dan bahkan dihilangkan. Setelah kelebihan cadangan
milik bank umum dikurangi dan dihilangkan, maka instrumen operasi pasar terbuka
dan tingkat diskonto dapat bekerja lebih
BAB
8 KEBIJAKAN FISKAL DAN KEBIJAKAN
MONETER 153
efektif.
Dalam kondisi perekonomian yang mengalami kelesuan, maka bank sentral sebaiknya
menurunkan persentase cadangan wajib bank umum, sebaliknya dalam kondisi
perekonomian overemployment, bank sentral meningkatkan persentase cadangan
wajib. Kredit selektif (selective
credit). Bank umum diberi kebebasan untuk menentukan jenis dan tingkat suku
bunga atas pinjaman yang mereka salurkan kepada masyarakat. Pemerintah dapat
menggunakan instrumen kebijakan ini untuk melakukan pengawasan pada bank umum
mengenai penyaluran kredit mereka dan jenis investasi yang dilakukan sesuai
dengan keinginan pemerintah. Misalnya pemerintah ingin mendorong perkembangan
industri kecil dan menengah (IKM), pemerintah dapat membuat aturan ataupun
himbauan kepada bank umum untuk menyalurkan sebagian kreditnya untuk industri
kecil dan menengah. Misalnya kredit tersebut bersifat lunak, baik tingkat
bunganya maupun jangka waktu pengembaliannya.
Bujukan moral (moral suation). Berbeda dengan instrumen operasi pasar
terbuka, tingkat diskonto, dan tingkat cadangan wajib, instrumen bujukan moral
tidak mewajibkan bank umum untuk mengikuti aturan yang ditetapkan oleh bank
sentral. Bank sentral hanya memberikan bujukan, ajakan, ataupun himbauan kepada
bank untuk membantu pemerintah melaksanakan program tertentu yang akan
dilaksanakan. Misalnya bujukan itu berupa himbauan kepada bank umum untuk
mengurangi kredit untuk sektor tertentu dan meningkatkan atau menurunkan suku
bunga pinjaman bank umum. Karena instrumen ini hanya bersifat kualitatif, maka
keberhasilan kebijakan moneter sangat tergantung pada kemauan bank umum untuk
menuruti himbauan pemerintah melalui bank sentral. Secara ringkas, bank sentral dapat
menggunakan instrumen kebijakan moneter untuk mengatasi masalah overemployment
dan underemployment seperti terlihat pada Tabel 8.2 berikut ini.
Tabel 8.2 Instrumen Kebijakan Moneter Untuk Mengatasi Overemployment dan
Underemployment
Instrumen Kebijakan Moneter
Kondisi
Overemployment
Kondisi
Underemployment
a.
Operasi pasar terbuka b. Suku bunga diskonto c. Tingkat cadangan wajib d.
Kredit selektif e. Bujukan moral
Menjual
surat berharga Ditingkatkan Ditingkatkan TMP -
Membeli
surat berharga Diturunkan
Diturunkan EMP -
KEBIJAKAN
PENGENDALIAN HARGA
Selain kebijakn fiskal dan kebijakan moneter,
ada jenis kebijakan lain yang dapat digunakan pemerintah untuk mencapai tujuan
tertentu, yaitu kebijakan pengendalian harga. Kebijakan pengendalian harga ini
ditujukan untuk memperkecil fluktuasi harga produk tertentu sehingga stabilitas
perekonomian dapat terjaga. Ada dua bentuk kebijakan pengen- dalian harga,
yaitu:
154 PENGANTAR EKONOMIKA MAKRO
P
S
E
0
Q1 Q
a.
Kebijakan harga tertinggi (ceiling price) b. Kebijakan harga terendah (floor
price) Jenis produk yang diatur dalam
kebijakan terutama untuk barang yang bersifat strategis dan dibutuhkan oleh
sebagian besar masyarakat. Kebijakan harga tertinggi ditujukan untuk menjaga
apabila terjadi kenaikan harga, tidak melebihi tingkat harga kewajaran.
Sebaliknya kebijakan harga terendah ditujukan untuk menjaga agar harga tidak
turun begitu rendahnya. Kedua jenis kebijakan ini ditujukan untuk melindungi
konsumen maupun produsen. Misalnya untuk beras diperlakukan kebijakan ceiling
price dan floor price. Karena beras dibutuhkan oleh seluruh penduduk dari
kelompok penduduk berpenghasilan rendah sampai dengan kelompok penduduk
berpenghasilan tinggi, maka harga beras perlu diatur agar tidak melebihi harga
kewajaran. Begitu pula sebaliknya apabila harga beras turun karena panen raya,
maka petani perlu dilindungi aga harga beras tidak menjadi sangat murah. Secara
grafis, kebijakan harga tertinggi dan kebijakan harga terendah dapat dilihat
pada Kurva 8.1 berikut ini.
P1
Kurva 8.1 Kebijakan Pengaturan Harga
Dalam kondisi keseimbangan di titik E, jumlah
keseimbangan adalah P1 dan harga keseimbangan Q1. pergeseran permintaan dan
penawaran akan mengakibatkan harga berfluktuasi. Apabila permintaan naik, maka
diharapkan kenaikan harga tidak melebihi harga tertinggi agar konsumen
terlindungi. Sebaliknya melimpahnya penawaran tidak mengakibatkan harga turun
dibawah harga terendah sehingga produsen terlindungi.
Harga
tertinggi
Harga
terendah
BAB
8 KEBIJAKAN FISKAL DAN KEBIJAKAN
MONETER 155
Efektivitas
Kebijakan Fiskal dan Moneter Kurva LM
seperti yang telah dibahas pada bab. 6, dapat dibagi menjadi tiga bagian,
yaitu: a. Daerah Klasik atau classical
range. Daerah klasik pada kurva LM adalah bagian yang sejajar dengan sumbu
tingkat bunga (titik C ke atas). b.
Daerah jerat likuiditas atau liquidity trap. Daerah jerat likuiditas adalah
kurva LM yang sejajar dengan tingkat pendapatan nasional ril. Pada daerah ini
tingkat bunga sedemikian rendahnya sehingga harga obligasi menjadi tinggi.
Dalam kondisi ini, masyarakat meramalkan akan terjadi penurunan harga obligasi
sehingga uang yang dimiliki tidak digunakan untuk membeli obligasi tetapi
diwujudkan dalam bentuk lain, misalnya dalam bentuk tabungan atau uang
tunai. c. Daerah tengah atau
intermediate. Daerah tengah merupakan bagian kurva LM yang berada antara daerah
klasik dan jerat likuiditas.
r (%) LM
0 Y
Kurva 8.2 Kurva LM dan Pembagiannya
a. Efektivitas Kebijakan Fiskal
Untuk melihat efektivitas kebijakan fiskal,
perhatikan Kurva 8.3. Dengan mensimu- lasikan pergeseran kurva IS, efektivitas
kebijakan fiskal dapat dilihat dari pengaruhnya meningkatkan pendapatan
nasional riil.
C
A B
Daerah
Jerat Likuiditas
Daerah
Tengah
Daerah
Klasik
156 PENGANTAR EKONOMIKA MAKRO
a. Daerah
jerat likuiditas kebijakan fiskal sangat efektif. Dengan menggeser kurva IS
sejauh a b, akan berakibat pada kenaikan pendapatan nasional riil juga sebesar
ab. Kenaikan pendapatan nasional ini terjadi dari Ya ke Yb.
b. Daerah
tengah kebijakan fiskal kurang efektif. Pergeseran kurva IS sejauh cd hanya
akan berhasil meningkatkan pendapatan nasional keseimbangan kurang dari jarak
cd tersebut, yaitu dari Yc ke Ym.
c. Daerah
Klasik kebijakan fiskal tidak efektif.
Meskipun kurva IS digeser sejauh e f ataupun e g, tingkat pendapatan nasional
riil tidak mengalami perubahan, yaitu tetap sebesar Ye.
r (%) LM
0
Ya Yb Yc Ym
Ye Y
Kurva 8.3
Kurva LM dan Efektivitas Kebijakan Fiskal
b.
Efektivitas Kebijakan Moneter
Efektivitas kebijakan moneter ditunjukkan
Kurva 8.4. Dengan mensimulasikan perge- seran kurva IS dan kurva LM,
efektivitas kebijakan moneter akan berpengaruh di tiga daerah, yaitu:
a. Daerah
jerat likuiditas kebijakan moneter tidak efektif. Pergeseran kurva LM dari LM1
ke LM2 tidak dapat meningkatkan tingkat bunga. Tingkat bunga tetap pada tingkat
R sedangkan tingkat pendapatan nasional riil juga tidak mengalami perubahan.
IS IS IS IS IS e
f g
c a b d
BAB
8 KEBIJAKAN FISKAL DAN KEBIJAKAN
MONETER 157
b. Daerah
tengah kebijakan moneter kurang efektif. Kebijakan moneter hanya menggeser
sedikit tingkat pendapatan nasional riil.
c. Daerah
Klasik kebijakan moneter sangat efektif. Pergeseran kurva IS akan mengakibatkan
pendapatan nasional naik lebih besar, yaitu dari Y2 ke Ye.
r (%)
LM2 LM1
0 Ya Yb Yf Y2 Yc Y
Kurva 8.4
Kurva IS-LM dan Efektivitas Kebijakan Moneter
IS
IS
IS
Kebijakan
moneter
Dari
Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Kebijakan
moneter adalah proses mengatur persediaan uang sebuah negara untuk mencapai tujuan tertentu; seperti
menahan inflasi,
mencapai pekerja penuh
atau lebih sejahtera. Kebijakan moneter dapat melibatkan mengeset standar bunga pinjaman,
"margin
requirement", kapitalisasi
untuk bank atau bahkan bertindak
sebagai peminjam usaha terakhir atau melalui persetujuan
melalui negosiasi dengan pemerintah lain.
Kebijakan
moneter pada dasarnya merupakan suatu kebijakan yang bertujuan untuk mencapai
keseimbangan internal (pertumbuhan ekonomi yang tinggi, stabilitas harga,
pemerataan pembangunan) dan keseimbangan eksternal (keseimbangan neraca
pembayaran) serta tercapainya tujuan ekonomi makro, yakni menjaga stabilisasi
ekonomi yang dapat diukur dengan kesempatan kerja, kestabilan harga serta
neraca pembayaran internasional yang seimbang. Apabila kestabilan dalam
kegiatan perekonomian terganggu, maka kebijakan moneter dapat dipakai untuk
memulihkan (tindakan stabilisasi). Pengaruh kebijakan moneter pertama kali akan
dirasakan oleh sektor perbankan, yang kemudian ditransfer pada sektor riil. [1]
Kebijakan
moneter adalah upaya untuk mencapai tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi
secara berkelanjutan dengan tetap mempertahankan kestabilan harga. Untuk
mencapai tujuan tersebut Bank Sentral atau Otoritas Moneter berusaha mengatur
keseimbangan antara persediaan uang dengan persediaan barang agar inflasi dapat
terkendali, tercapai kesempatan kerja penuh dan kelancaran dalam
pasokan/distribusi barang.Kebijakan moneter dilakukan antara lain dengan salah
satu namun tidak terbatas pada instrumen sebagai berikut yaitu suku bunga, giro
wajib minimum, intervensi dipasar valuta asing dan sebagai tempat terakhir bagi
bank-bank untuk meminjam uang apabila mengalami kesulitan likuiditas.
Daftar
isi
Jenis-jenis
Kebijakan Moneter
Pengaturan
jumlah uang yang beredar pada masyarakat diatur dengan cara menambah atau
mengurangi jumlah uang yang beredar. Kebijakan moneter dapat digolongkan
menjadi dua, yaitu: [2]
Kebijakan
moneter ekspansif (Monetary expansive policy)
Adalah
suatu kebijakan dalam rangka menambah jumlah uang yang beredar. Kebijakan ini
dilakukan untuk mengatasi pengangguran dan meningkatkan daya beli masyarakat
(permintaan masyarakat) pada saat perekonomian mengalami resesi atau depresi.
Kebijakan ini disebut juga kebijakan moneter longgar (easy money policy)
Kebijakan
Moneter Kontraktif (Monetary contractive policy)
Adalah
suatu kebijakan dalam rangka mengurangi jumlah uang yang beredar. Kebijakan ini
dilakukan pada saat perekonomian mengalami inflasi. Disebut juga dengan
kebijakan uang ketat (tight money policy)
Kebijakan
moneter dapat dilakukan dengan menjalankan instrumen kebijakan moneter, yaitu
antara lain : [3]
Operasi
Pasar Terbuka (Open Market Operation)
Operasi
pasar terbuka adalah cara mengendalikan uang yang beredar dengan menjual atau
membeli surat berharga pemerintah (government securities). Jika ingin menambah
jumlah uang beredar, pemerintah akan membeli surat berharga pemerintah. Namun,
bila ingin jumlah uang yang beredar berkurang, maka pemerintah akan menjual
surat berharga pemerintah kepada masyarakat. Surat berharga pemerintah antara
lain diantaranya adalah SBI atau singkatan dari Sertifikat Bank Indonesia dan
SBPU atau singkatan atas Surat Berharga Pasar Uang.
Fasilitas
Diskonto (Discount Rate)
Fasilitas
diskonto adalah pengaturan jumlah uang yang beredar dengan memainkan tingkat
bunga bank sentral pada bank umum. Bank umum kadang-kadang mengalami kekurangan
uang sehingga harus meminjam ke bank sentral. Untuk membuat jumlah uang
bertambah, pemerintah menurunkan tingkat bunga bank sentral, serta sebaliknya
menaikkan tingkat bunga demi membuat uang yang beredar berkurang.
Rasio
Cadangan Wajib (Reserve Requirement Ratio)
Rasio
cadangan wajib adalah mengatur jumlah uang yang beredar dengan memainkan jumlah
dana cadangan perbankan yang harus disimpan pada pemerintah. Untuk menambah
jumlah uang, pemerintah menurunkan rasio cadangan wajib. Untuk menurunkan
jumlah uang beredar, pemerintah menaikkan rasio.
Imbauan
Moral (Moral Persuasion)
Himbauan
moral adalah kebijakan moneter untuk mengatur jumlah uang beredar dengan jalan
memberi imbauan kepada pelaku ekonomi. Contohnya seperti menghimbau perbankan
pemberi kredit untuk berhati-hati dalam mengeluarkan kredit untuk mengurangi
jumlah uang beredar dan menghimbau agar bank meminjam uang lebih ke bank
sentral untuk memperbanyak jumlah uang beredar pada perekonomian.
Tujuan
Kebijakan Moneter
Bank
Indonesia memiliki tujuan untuk mencapai dan memelihara kestabilan nilai
rupiah. Tujuan ini sebagaimana tercantum dalam UU No. 3 tahun 2004 pasal 7
tentang Bank Indonesia. [4]
Hal yang
dimaksud dengan kestabilan nilai rupiah antara lain adalah kestabilan terhadap
harga-harga barang dan jasa yang tercermin pada inflasi. Untuk mencapai tujuan
tersebut, sejak tahun 2005 Bank Indonesia menerapkan kerangka kebijakan moneter
dengan inflasi sebagai sasaran utama kebijakan moneter (Inflation Targeting
Framework) dengan menganut sistem nilai tukar yang mengambang (free floating).
Peran kestabilan nilai tukar sangat penting dalam mencapai stabilitas harga dan
sistem keuangan. Oleh karenanya, Bank Indonesia juga menjalankan kebijakan
nilai tukar untuk mengurangi volatilitas nilai tukar yang berlebihan, bukan
untuk mengarahkan nilai tukar pada level tertentu.
Dalam
pelaksanaannya, Bank Indonesia memiliki kewenangan untuk melakukan kebijakan
moneter melalui penetapan sasaran-sasaran moneter (seperti uang beredar atau
suku bunga) dengan tujuan utama menjaga sasaran laju inflasi yang ditetapkan
oleh Pemerintah. Secara operasional, pengendalian sasaran-sasaran moneter
tersebut menggunakan instrumen-instrumen, antara lain operasi pasar terbuka di
pasar uang baik rupiah maupun valuta asing, penetapan tingkat diskonto,
penetapan cadangan wajib minimum, dan pengaturan kredit atau pembiayaan. Bank
Indonesia juga dapat melakukan cara-cara pengendalian moneter berdasarkan
Prinsip Syariah.
Kebijakan
fiskal
Dari
Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Kebijakan
fiskal merujuk pada kebijakan yang dibuat pemerintah untuk mengarahkan ekonomi
suatu negara melalui pengeluaran dan pendapatan (berupa pajak) pemerintah.
Kebijakan fiskal berbeda dengan kebijakan moneter, yang bertujuan men-stabilkan perekonomian dengan
cara mengontrol tingkat bunga dan jumlah uang
yang beredar. Instrumen utama kebijakan fiskal adalah pengeluaran dan pajak.
Perubahan tingkat dan komposisi pajak dan pengeluaran pemerintah dapat
memengaruhi variabel-variabel berikut:
Permintaan
agregat dan tingkat aktivitas ekonomi
Pola
persebaran sumber daya
Distribusi
pendapatan
Pemerintah
menjalankan kebijakan fiskal adalah dengan maksud untuk mempengaruhi jalannya
perekonomian atau dengan perkataan lain, dengan kebijakan fiskal pemerintah
berusaha mengarahkan jalannya perekonomian menuju keadaan yang diinginkannya.
Dengan melalui kebijakan fiskal, antara lain pemerintah dapat mempengaruhi
tingkat pendapatan nasional, dapat mempengaruhi kesempatan kerja, dapat
mempengaruhi tinggi rendahnya investasi nasional, dan dapat mempengaruhi
distribusi penghasilan nasional.
0 komentar:
Post a Comment