Tuesday 28 July 2015


(PROVINSI FLORES)
Merujuk pada PP RI No. 78 Tahun 2007 ttg Tata Cara Pembentukan, Penghapusan, dan Penggabungan Daerah.
O l e h:
ORGANISASI PENGAWASAN RAKYAT (OPR)
A. DASAR HUKUM PEMBENTUKAN WILAYAH 
(Fokus Pada Wilayah Provinsi)
1. UUD 1945, BAB VI PEMERINTAHAN DAERAH PASAL 18 
* (1) Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah propinsi dan daerah propinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap propinsi,kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang.
* Perubahan II 18 Agustus 2000, sebelumnya berbunyi : Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan Undang-undang, dengan memandang dan mengingati dasar permusyawaratan dalam sistim Pemerintahan Negara, dan hak-hak asal-usul dalam daerah yang bersifat istimewa.
2. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2005 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 108, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4548);
3. PP RI No. 78 Tahun 2007 ttg Tata Cara Pembentukan, Penghapusan, dan Penggabungan Daerah. (Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 10 Desember 2007 Diundangkan di Jakarta pada tanggal 10 Desember 2007 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2007 NOMOR 162)
B. SYARAT PEMBENTUKAN
Merujuk pada PP 78/2007 ttg Tata Cara Pembentukan, Penghapusan, dan Penggabungan Daerah. Pasal 4 aya 1 menyebutkan 3 syarat pembentukan wilayah administratif pemerintahan, termasuk wilayah provinsi, yakni :
1. Syarat Administrasi ;
2. Syarat Teknis ; dan
3. Syarat Fisik Kewilayahan.
Pasal 4 (1) 
Pembentukan daerah provinsi berupa pemekaran provinsi dan penggabungan beberapa kabupaten/kota yang bersandingan pada wilayah provinsi yang berbeda harus memenuhi syarat administratif, teknis, dan fisik kewilayahan.
1.1. SYARAT ADMINISTRASI
Diatur lebih lanjut dalam Pasal 5 ayat 1, menegaskan ; 
Syarat administratif pembentukan daerah provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) meliputi:
a. Keputusan masing-masing DPRD kabupaten/kota yang akan menjadi cakupan wilayah calon provinsi tentang persetujuan pembentukan calon provinsi berdasarkan hasil Rapat Paripurna;
b. Keputusan bupati/walikota ditetapkan dengan keputusan bersama bupati/walikota wilayah calon provinsi tentang persetujuan pembentukan calon provinsi;
c. Keputusan DPRD provinsi induk tentang persetujuan pembentukan calon provinsi berdasarkan hasil Rapat Paripurna;
d. Keputusan gubernur tentang persetujuan pembentukan calon provinsi; dan
e. Rekomendasi Menteri.
Dari ketentuan pasal 5 ayat 1 ini terdapat 5 (lima) syarat administrasi, sehingga dengan memenuhi ke-5 syarat ini maka secara administrasi Provinsi Flores bisa terbentuk. Tentu sangat tergantung pada kemauan politik (Political Will) antara pihak eksekutif dan legislatif, baik di tingkat kabupaten se-Flores maupun antara Gubernur dan DPRD NTT.
2.2. SYARAT TEKNIS
Diatur dalam Pasal 6 (3 ayat), yakni ; 
(1) Syarat teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 meliputi faktor kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial budaya, sosial politik, kependudukan, luas daerah, pertahanan, keamanan, kemampuan keuangan, tingkat kesejahteraan masyarakat, dan rentang kendal penyelenggaraan pemerintahan daerah.
(2) Faktor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinilai berdasarkan hasil kajian daerah terhadap indikator sebagaimana tercantum dalam lampiran yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Pemerintah ini.
(3) Suatu calon daerah otonom direkomendasikan menjadi daerah otonom baru apabila calon daerah otonom dan daerah induknya mempunyai total nilai seluruh indikator dan perolehan nilai indikator faktor kependudukan, faktor kemampuan ekonomi, faktor potensi daerah dan faktor kemampuan keuangan dengan kategori sangat mampu atau mampu.
3.3. SYARAT FISIK
Diatur dlm pasal 7, 8,9,11,12, dan 13 : Pasal 7
Syarat fisik kewilayahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 meliputi cakupan wilayah, lokasi calon ibukota, sarana dan prasarana pemerintahan.
Pasal 8
Cakupan wilayah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 untuk:
a. pembentukan provinsi paling sedikit 5 (lima) kabupaten/kota;
b. pembentukan kabupaten paling sedikit 5 (lima) kecamatan; dan
c. pembentukan kota paling sedikit 4 (empat) kecamatan.
Dari ketentuan pasal 8 huruf a, Flores memiliki kabupaten yang melebih ketentuan dimaksud.
Pasal 9
(1) Cakupan wilayah pembentukan provinsi digambarkan dalam peta wilayah calon provinsi.
(2) Peta wilayah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilengkapi dengan daftar nama kabupaten/kota dan kecamatan yang menjadi cakupan calon provinsi serta garis batas wilayah calon provinsi dan nama wilayah kabupaten/kota di provinsi lain, nama wilayah laut atau wilayah negara tetangga yang berbatasan langsung dengan calon provinsi.
(3) Peta wilayah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibuat berdasarkan kaidah pemetaan yang difasilitasi oleh lembaga teknis dan dikoordinasikan oleh Menteri.
Pasal 11
(1) Dalam hal cakupan wilayah calon provinsi dan kabupaten/kota berupa kepulauan atau gugusan pulau, peta wilayah harus dilengkapi dengan daftar nama pulau.
(2) Cakupan wilayah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) dan Pasal 10 ayat (1) harus merupakan satu kesatuan wilayah administrasi.
Pasal 12
(1) Lokasi calon ibukota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ditetapkan dengan keputusan gubernur dan keputusan DPRD provinsi untuk ibukota provinsi, dengan keputusan bupati dan keputusan DPRD kabupaten untuk ibukota kabupaten.
(2) Penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan hanya untuk satu lokasi ibukota.
(3) Penetapan lokasi ibukota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan setelah adanya kajian daerah terhadap aspek tata ruang, ketersediaan fasilitas, aksesibilitas, kondisi dan letak geografis, kependudukan, sosial ekonomi, sosial politik, dan sosial budaya.
(4) Pembentukan kota yang cakupan wilayahnya merupakan ibukota kabupaten, maka ibukota kabupaten tersebut harus dipindahkan ke lokasi lain secara bertahap paling lama 5 (lima) tahun sejak dibentuknya kota.
Pasal 13
(1) Sarana dan prasarana pemerintahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 meliputi bangunan dan lahan untuk kantor kepala daerah, kantor DPRD, dan kantor perangkat daerah yang dapat digunakan untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat.
(2) Bangunan dan lahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berada dalam wilayah calon daerah.
(3) Lahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dimiliki pemerintah daerah dengan bukti kepemilikan yang sah.
C. TATA CARA PEMBENTUKAN 
(Diatur dalam pasal 14 dan 15, yakni)
Pasal 14
Pembentukan daerah provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf a dilaksanakan dengan tahapan sebagai berikut:
a. Aspirasi sebagian besar masyarakat setempat dalam bentuk Keputusan BPD untuk Desa dan Forum Komunikasi Kelurahan atau nama lain untuk Kelurahan di wilayah yang menjadi calon cakupan wilayah provinsi atau kabupaten/kota yang akan dimekarkan.
b. Keputusan DPRD kabupaten/kota berdasarkan aspirasi sebagian besar masyarakat setempat;
c. Bupati/walikota dapat memutuskan untuk menyetujui atau menolak aspirasi sebagaimana dimaksud pada huruf a dalam bentuk keputusan bupati/walikota berdasarkan hasil kajian daerah.
d. Keputusan masing-masing bupati/walikota sebagaimana dimaksud pada huruf c disampaikan kepada gubernur dengan melampirkan:
1. Dokumen aspirasi masyarakat; dan
2. Keputusan DPRD kabupaten/kota dan keputusan bupati/ walikota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a dan huruf b.
e. Dalam hal gubernur menyetujui usulan pembentukan provinsi sebagaimana yang diusulkan oleh bupati/walikota dan berdasarkan hasil kajian daerah, usulan pembentukan provinsi tersebut selanjutnya disampaikan kepada DPRD provinsi;
f. Setelah adanya keputusan persetujuan dari DPRD provinsi, gubernur menyampaikan usulan pembentukan provinsi kepada Presiden melalui Menteri dengan melampirkan:
1. Hasil kajian daerah;
2. Peta wilayah calon provinsi;
3. Keputusan DPRD kabupaten/kota dan keputusan bupati / walikota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a dan huruf b; dan
4. Keputusan DPRD provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf c dan keputusan gubernur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf d.
Pasal 15
Pembentukan daerah provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf b dilaksanakan dengan tahapan sebagai berikut:
a. Aspirasi sebagian besar masyarakat setempat dalam bentuk Keputusan BPD untuk Desa dan Forum Komunikasi Kelurahan atau nama lain untuk Kelurahan di wilayah yang menjadi calon cakupan wilayah provinsi atau kabupaten/kota yang akan dimekarkan.
b. Keputusan DPRD kabupaten/kota berdasarkan aspirasi sebagian besar masyarakat setempat;
c. Bupati/walikota dapat memutuskan untuk menyetujui atau menolak aspirasi sebagaimana dimaksud dalam huruf a dalam bentuk keputusan bupati/walikota;
d. Keputusan masing-masing bupati/walikota sebagaimana dimaksud dalam huruf c disampaikan kepada masing-masing gubernur yang bersangkutan dengan melampirkan:
1. Dokumen aspirasi masyarakat; dan
2. Keputusan DPRD kabupaten/kota dan keputusan bupati/ walikota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a dan huruf b.
e. Dalam hal gubernur menyetujui usulan pembentukan provinsi sebagaimana yang diusulkan oleh bupati/walikota dan berdasarkan hasil kajian daerah, usulan pembentukan provinsi tersebut selanjutnya disampaikan kepada DPRD provinsi yang bersangkutan;
f. Setelah adanya keputusan persetujuan dari DPRD provinsi, masing-masing gubernur menyampaikan usulan pembentukan provinsi kepada Presiden melalui Menteri dengan melampirkan:
1. Hasil kajian daerah;
2. Peta wilayah calon provinsi;
3. Keputusan DPRD kabupaten/kota dan keputusan bupati/ walikota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a dan huruf b; dan
4. Keputusan DPRD provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf c dan keputusan gubernur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf d.
D. PENDANAAN
Diatur dalam pasal Pasal 26 ayat 1, yakni : Dana yang diperlukan dalam rangka pembentukan provinsi dibebankan pada APBD provinsi induk dan APBD kabupaten/kota yang menjadi cakupan calon provinsi.
E. PENILAIAN SYARAT TEKNIK
Diatur dalam PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 78 Tahun 2007 TANGGAL : 10 Desember 2007 (terlampir)
F. CATATAN AKHIR
Dari berbagai uraian mulai pd bagian A-D di atas, sesungguhnya inilah yang menjadi fokus kegiatan PANITIA PEMBENTUKAN PROVINSI FLORES (P4F) antara lain sbb :
1. Mendorong 10 bupati dan 10 DPRD se-Flores ; dan
2. Gubernur serta Pimpinan DPRD Provinsi induk NTT. 
Tujuannya :
1. Para pihak otoritas terkait dimaksud diharapkan segera penuhi 3 syarat utama diatas dengan segala penjabaranya. 
2. Terkait tujuan poin 1 sehingga Gubernur NTT terpilih hasil Pemilukada putaran 2 Tanggal 23 Mei 2013 dapat segera ajukan usulan ke Pemerintah Pusat di Jakarta melalui Menteri Dalam Negeri, selambatnya akhir Tahun 2013.
3. Terkait tujuan poin 3, pemeritah pusat menindaklanjutinya dalam berbagai tahapan kegiatan selanjutnya, hingga penyusunan dan pengesahan UU khusus oleh Pemerintah dan DPR RI sebagai dasar hukum Pembentukan Daerah Provinsi NTT, selambatnya ...... Tahun 2915...... !!?
Inilah salah satu ‘LIT’ / TOP PROGRAM ORGANISASI PENGAWASAN RAKYAT (OPR) bekerjasama dengan Koordinator Program OXFAM PAPUA, melalui P4F. Tentu tidak ringan, tetapi disanalah letak bobot perjuangan P4F dakam rangka mewujudkan kehendak mayoritas 1,7 Rakyat Flores yg tersebar di 10 kabupaten, 206 kecamatan dan 1.322 desa/kelurahan se-Flores. Yang telah dimulai pertengahan Mei Tahun 1956 dan Juni 1957 oleh Partai Katolik selaku Pemenang Pemilu Pertama di Indonesia Tahun 1955 untuk wilayah Flores, dalam konfrensi partai ini di Nele-Sika dan Ende. Terakhir coba dilanjutkan oleh sebuah wadah bernama MUSYAWARAH BESAR (MUBES)ORANG FLORES, yg dihariri para bupati, DPRD, dan unsur muspida serta para tokoh/sesepuh di NTT dan Flores yang berlangsung di Ruteng-Manggarai Tahun 2004. Namun hasilnya masih belum jelas juga. 
Bagaimana dengan kehadiran P4F, mampukah merubah impian yang muncul sejak lebih dari separoh abad silam, jauh-jauh sebelum kelahiran Provinsi NTT Tahun 1958 ini jadi kenyataan.....??! Biarlah waktu yang menjawabnya.



Pengertian Kebijakan Fiskal  
 Kebijakan fiskal merupakan kebijakan pemerintah yang dilakukan dengan cara mempengaruhi sisi penerimaan maupun sisi pengeluaran pada APBN. Segala macam kebijakan yang berkaitan dengan APBN digolongkan sebagai kebijakan fiskal, misalnya kebijakan bidang perpajakan, kebijakan hutang luar negeri, dan kebijakan peningkatan pengeluaran pemerintah. Pemerintah seringkali menghadapi masalah defisit anggaran sehingga memerlukan satu set kebijakan fiskal untuk mengatasinya. Ada beberapa sumber pembiayaan defisit anggaran, diantaranya yaitu: 
a. Pajak b. Mencetak uang baru c. Pinjaman masyarakat dalam negeri d. Pinjaman masyarakat luar negeri 
 Pada bab 3 telah dibahas dua macam jenis pajak, yaitu pajak tetap atau lump-sum tax dan pajak proporsional. Pajak tetap merupakan pajak yang jumlah dan besarnya tidak tergantung pada tingkat pendapatan, berapapun pendapatan, besarnya pajak sama. Dalam kenyataannya sebagian besar pajak, baik pajak langsung maupun pajak tidak langsung berhubungan erat dengan pendapatan. Pajak pendapatan, pajak perseroan, dan pajak kekayaan merupakan jenis pajak langsung yang sangat berkaitan dengan pendapatan. Begitu pula dengan pajak penjualan, bea masuk, dan cukai merupakan contoh pajak tidak langsung yang besarnya juga tergantung pada tingkat pendapatan dari transaksinya. Dengan kata lain, semakin besar pendapatan, maka semakin besar pajak yang harus ditanggung begitu pula sebaliknya. Dalam bentuk persamaan dapat dituliskan hubungan antara pajak dan pendapatan, yaitu: 
T  = T0 + t Y 
 Karena pajak berkaitan dengan pendapatan, maka penerimaan pemerintah dari pajak sangat tergantung pada tingkat pendapatan masyarakat. Pajak dalam alur perputaran ekonomi digolongkan sebagai variabel kebocoran (leakages) sehingga bila pemerintah ingin meningkatkan penerimaan pemerintah dari pajak, maka konsekuensinya adalah makin tingginya kebocoran. Dengan kata lain, pajak dapat mengakibatkan turunnya daya beli masyarakat karena mengurangi pendapatan siap konsumsi (disposible income) yang nilainya: 
148     PENGANTAR EKONOMIKA MAKRO  
Yd = Y – TX + Tr 
 Dengan demikian, semakin besar defisit anggaran pemerintah dan bila pemerintah membiayainya dengan meningkatkan pajak, maka daya beli masyarakat akan terus menurun.   Pemerintah dapat juga membiayai defisit anggaran dengan meminjam dana dari bank sentral. Bank sentral akan membiayai pinjaman tersebut dengan mencetak uang baru. Pembiayaan pinjaman pemerintah yang dibiayai dengan mencetak uang baru akan mengakibatkan jumlah uang beredar meningkat. Sesuai dengan teori kuantitas, penambahan jumlah uang beredar akan dapat mengakibatkan inflasi. Dengan demikian semakin besar defisit anggaran pemerintah yang dibiayai dengan mencetak uang baru, maka semakin besar pula risiko terjadinya inflasi.   Pemerintah dapat menghimpun dan meminjam dana masyarakat dalam negeri untuk membiayai defisit anggarannya. Mekanisme penghimpunan dana itu adalah melalui penerbitan surat hutang atau obligasi pemerintah yang dijual (float) kepada masyarakat di pasar uang. Pemerintah akan membayar obligasi itu pada saat jatuh tempo beserta bunga dari obligasi tersebut. Untuk menarik masyarakat mau membeli surat hutang itu, maka biasanya pemerintah menawarkan tingkat bunga yang lebih besar dari pada tingkat bunga yang berlaku di bank umum. Pinjaman kepada masyarakat dalam negeri biasanya dalam bentuk mata uang dalam negeri.   Sumber pembiayaan defisit anggaran yang terakhir adalah pinjaman pada masyarakat luar negeri. Seperti halnya pinjaman pada masyarakat dalam negeri, pinjaman pada masyarakat luar negeri dilakukan dengan cara menjual surat berharga atau obligasi di pasar uang internasional. Dana yang diperoleh dari jenis sumber pembiayaan ini biasanya dalam bentuk mata uang asing dan devisa. Sumber pembiayaan ini cocok untuk membiayai defisit neraca pembayaran internasional.    
Kebijakan Fiskal yang Disengaja 
 Kebijakan fiskal yang disengaja (discretionary) adalah kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah untuk menanggulangi gelombang konjungtur dengan cara memanipulasi anggaran belanja secara sengaja. Kebijakan fiskal yang disengaja ini dapat berupa mengubah aturan tentang perpajakan ataupun mengubah pengeluaran pemerintah. Dari usaha ini terlihat seberapa jauh peranan pemerintah dalam melakukan campur tangan dalam pengaturan perekonomian.   Kasus 1 berikut menunjukkan bahwa pajak dan transfer yang dilakukan pemerintah akan berpengaruh terhadap pengeluaran konsumsi dan tabungan masyarakat. Seperti telah diuraikan pada bab perhitungan nasional, pajak akan mengurangi pendapatan konsumen sehingga berkurangnya pendapatan akan menurunkan daya beli masyarakat yang tercermin dari turunnya pengeluaran konsumsi masyarakat. Sebaliknya, transfer pemerintah akan menambah pendapatan masyarakat sehingga pendapatan disposibelnya akan meningkat pula. 
BAB 8  KEBIJAKAN FISKAL DAN KEBIJAKAN MONETER   149  
Contoh 1 (Pengaruh Pajak Pada Konsumsi dan Tabungan) 
 Fungsi konsumsi masyarakat adalah C = 40 miliar rupiah + 0,75 Yd. Pemerintah menetapkan pajak sebesar Tx = 30 miliar rupiah. Dari data tersebut,  
Ditanya: a.    Hitunglah besarnya konsumsi dan tabungan sebelum adanya pajak dari pemerintah! b.    Hitunglah besarnya pengeluaran konsumsi dan tabungan setelah adanya pajak, apabila tingkat pendapatannya 120 miliar rupiah! 
Jawab: a.  Besarnya C dan S apabila tanpa pajak  
Pengeluaran Konsumsi C = 40 + 0,75 Yd C = 40 + 0,75 (120 - 0 + 0) C = 40 + 90 C = 130 miliar rupiah 
Jadi pengeluaran konsumsi sebelum adanya pajak adalah sebesar 130 miliar rupiah.  
Besarnya Tabungan S = Yd – C S = (120 – 0) – 130 S = 120 – 130 S = -10 
Jadi besarnya tabungan adalah-10 miliar rupiah, atau dengan kata lain terjadi dissaving sebesar 10 miliar rupiah.  
b.  Besarnya C dan S apabila pajak = 30  miliar rupiah 
Pengeluaran Konsumsi C = C0 +  C atau  C= C0 – c  Tx C = 130 – 0,75 x 30 C = 130 – 22,5 C = 107,5 miliar rupiah  Jadi pengeluaran konsumsi setelah adanya pajak adalah sebesar 107,5 miliar rupiah.  
Tabungan S = S0 +  S atau S = S0 + (1- c ) (-  Tx) S = -10 + (1 – 0,75) (-30) S = - 10 + (- 7,5) S = - 17,5 miliar rupiah  Jadi besarnya tabungan dengan adanya pajak adalah sebesar - 17,5 miliar rupiah. 
150     PENGANTAR EKONOMIKA MAKRO  
 Dari Contoh 1 diatas dapat dilihat bahwa pajak akan mengurangi pengeluaran konsumsi dan tabungan masyarakat. Sebelum adanya pajak, pengeluaran konsumsi sebesar 130 miliar rupiah, tetapi setelah adanya pajak sebesar 30 miliar rupiah maka pengeluaran konsumsi masyarakat turun menjadi 107,5 miliar rupiah. Begitupula dengan adanya pajak mengakibatkan tabungan masyarakat akan turun dari -10 miliar rupiah menjadi 17,5 miliar rupiah.   
Contoh 2 (Pengaruh Transfer pada Konsumsi dan Tabungan) 
 Fungsi konsumsi masyarat adalah C = 40 miliar rupiah + 0,75 Yd. Pemerintah menetapkan pajak sebesar Tx = 30 miliar rupiah memberikan transfer  sebesar Tr = 40 miliar rupiah. Dari data tersebut,  
Ditanya: a.    Hitunglah besarnya pengeluaran konsumsi dan tabungan setelah adanya tansfer dari pemerintah, apabila tingkat pendapatannya 120 miliar rupiah. b.    Hitunglah besarnya pengeluaran konsumsi dan tabungan setelah adanya pajak dan adanya transfer pemerintah apabila tingkat pendapatannya 120 miliar rupiah. 
Jawab: Dengan menggunakan data konsumsi dan tabungan sebelum adanya pajak dan transfer pada kasus 1, maka: 
a. Besarnya C dan S apabila ada transfer 
Pengeluaran Konsumsi C = C0 +  C atau  C= C0 + c  Tr C = 130 + 0,75 x 40 C = 130 + 30 C = 160 miliar rupiah  Jadi pengeluaran konsumsi setelah dengan adanya transfer sebesar 40 adalah sebesar 160 miliar rupiah.  
Tabungan S = S0 +  S atau S = S0 + (1- c ) ( Tr) S = - 10 + (1 – 0,75) (40) S = - 10 + 10 S = 0  Jadi besarnya tabungan dengan adanya transfer adalah sebesar nol.  
BAB 8  KEBIJAKAN FISKAL DAN KEBIJAKAN MONETER   151  
b. Besarnya C dan S apabila ada transfer dan ada pajak 
Pengeluaran Konsumsi C = C0 +  C atau  C= C0 + c ( Tr -  Tx) C = 130 + 0,75 (40 – 30) C = 130 + 7,5 C = 137,5 miliar rupiah  Jadi pengeluaran konsumsi setelah dengan adanya transfer sebesar 40  dan pajak 30 adalah sebesar 137,5 miliar rupiah.  
Tabungan S = S0 +  S atau S = S0 + (1- c ) ( Tr- Tx) S = - 10 + (1 – 0,75) (40 – 30) S = - 10 + 2,5 S = - 7,5  Jadi besarnya tabungan dengan adanya transfer dan pajak adalah sebesar -7,5 miliar rupiah.  
 Berkebalikan dengan pajak, transfer berpengaruh positif terhadap pengeluaran konsumsi dan tabungan. Dengan adanya transfer sebesar 40 miliar rupiah, maka pengeluaran konsumsi naik dari 130 miliar menjadi 160 miliar rupiah. Begitupula dengan tabungan, dengan adanya transfer, maka tabungan naik dari -10 miliar rupiah menjadi nol.   Dari contoh 1 dan 2 tersebut dapat diketahui bahwa pemerintah dapat mempengaruhi besarnya pendapatan nasional melalui pajak dan transfer. Tingkat pendapatan nasional yang paling ideal adalah tingkat pendapatan pada kondisi pengerjaan penuh (full employment).  
KEBIJAKAN MONETER 
Instrumen Kebijakan Moneter   Kebijakan moneter merupakan kebijakan pemerintah untuk mengendalikan pereko- nomian melalui jumlah uang beredar (JUB) yang dilakukan oleh bank sentral. Dalam mengendalikan jumlah uang beredar, ada beberapa instrumen kebijakan moneter yang biasa digunakan, diantaranya adalah: 
Tabel 8.1 Instrumen Kebijakan Moneter Kuantitatif dan Kualitatif 
Instrumen Kuantitatif Instrumen Kualitatif a. operasi pasar terbuka b. suku bunga diskonto c. tingkat cadangan wajib d. kredit selektif e. bujukan moral 
152     PENGANTAR EKONOMIKA MAKRO  
 Operasi pasar terbuka (open market operation). Instrumen kebijakan operasi pasar terbuka dilakukan dengan cara menjual atau membeli surat berharga, misalnya Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dan Surat Berharga Pasar Uang (SBPU). Bank sentral menentukan untuk menjual ataupun membeli surat berharga, tergantung pada kondisi perekonomian yang dihadapi. Dalam kondisi perekonomian mengalami kelesuan, bank sentral akan menambah jumlah uang beredar dengan cara membeli surat berharga. Dengan membeli surat berharga, maka bank sentral akan membayar sejumlah surat berharga yang dibelinya tersebut sehingga jumlah cadangan yang ada di bank umum akan bertambah. Dengan bertambahnya jumlah uang beredar, maka diharapkan perputaran kegiatan ekonomi lebih meningkat. Sebaliknya dalam kondisi overemployment, bank sentral akan menjual surat berharga yang mereka miliki sehingga sebagian jumlah uang beredar akan masuk ke rekening bank sentral dan jumlah tabungan giral milik masyarakat dan cadangan bank umum akan berkurang. Ada dua syarat agar instrumen operasi pasar terbuka ini berhasil mengatasi masalah overemployment dan underemployment, yaitu: 
a. Bank umum tidak memiliki kelebihan cadangan. Kelebihan cadangan yang dimiliki bank umum dapat digunakan untuk membeli surat berharga yang ada di bank sentral. Dalam kondisi seperti ini bank umum tidak mengurangi jumlah uang giral yang mereka miliki sehingga jumlah uang beredar tidak mengalami perubahan.  
b. Ada cukup banyak surat berharga yang dapat diperjualbelikan. Dengan banyaknya surat berharga yang beredar dan dimiliki bank sentral, maka ada keleluasaan bank sentral untuk melakukan jual beli atas surat berharga tersebut. Lemahnya pasar uang dan sedikitnya jumlah surat berharga akan menghambat bekerjanya instrumen kebijakan moneter ini.  
 Suku bunga diskonto (discount rate). Bank umum dalam menjalankan kegiatannya memerlukan kepercayaan dari masyarakat, tanpa adanya kepercayaan dari masyarakat, maka bank umum tidak mungkin mampu berkembang. Salah satu cara menjaga kepercayaan masyarakat, bank harus mampu menyediakan dana yang ditarik oleh masyarakat. Apabila bank umum mengalami kekurangan dana, maka bank umum dapat meminjam dana dari bank sentral. Dalam memberikan pinjaman, bank sentral menetapkan tingkat bunga diskonto pada bank umum tersebut. Tingkat diskonto ini dapat digunakan oleh bank sentral untuk mengendalikan perekonomian. Dalam kondisi perekonomian mengalami kelesuan, maka bank sentral seharusnya menurunkan tingkat diskonto. Penurunan diskonto akan mendorong bank umum untuk meminjam dana lebih banyak karena biaya bunga yang harus ditanggung lebih ringan. Sebaliknya dalam kondisi perekonomian mengalami overemployment, maka bank sentral akan meningkatkan tingkat diskontonya. Peningkatan diskonto ini akan menghambat bank umum untuk meminjam dana yang lebih banyak pada bank sentral.  Tingkat cadangan wajib (reserve requirement). Kelebihan cadangan yang dimiliki oleh bank umum akan mengakibatkan ketidakberhasilan instrumen operasi pasar terbuka dan tingkat diskonto. Untuk itu, bank sentral dapat mewajibkan bank umum untuk meningkatkan persentase cadangan wajib yang harus diserahkan ke bank sentral. Dengan meningkatkan persentase cadangan wajib, maka kelebihan cadangan milik bank umum dapat dikurangi dan bahkan dihilangkan. Setelah kelebihan cadangan milik bank umum dikurangi dan dihilangkan, maka instrumen operasi pasar terbuka dan tingkat diskonto dapat bekerja lebih
BAB 8  KEBIJAKAN FISKAL DAN KEBIJAKAN MONETER   153  
efektif. Dalam kondisi perekonomian yang mengalami kelesuan, maka bank sentral sebaiknya menurunkan persentase cadangan wajib bank umum, sebaliknya dalam kondisi perekonomian overemployment, bank sentral meningkatkan persentase cadangan wajib.   Kredit selektif (selective credit). Bank umum diberi kebebasan untuk menentukan jenis dan tingkat suku bunga atas pinjaman yang mereka salurkan kepada masyarakat. Pemerintah dapat menggunakan instrumen kebijakan ini untuk melakukan pengawasan pada bank umum mengenai penyaluran kredit mereka dan jenis investasi yang dilakukan sesuai dengan keinginan pemerintah. Misalnya pemerintah ingin mendorong perkembangan industri kecil dan menengah (IKM), pemerintah dapat membuat aturan ataupun himbauan kepada bank umum untuk menyalurkan sebagian kreditnya untuk industri kecil dan menengah. Misalnya kredit tersebut bersifat lunak, baik tingkat bunganya maupun jangka waktu pengembaliannya.   Bujukan moral (moral suation). Berbeda dengan instrumen operasi pasar terbuka, tingkat diskonto, dan tingkat cadangan wajib, instrumen bujukan moral tidak mewajibkan bank umum untuk mengikuti aturan yang ditetapkan oleh bank sentral. Bank sentral hanya memberikan bujukan, ajakan, ataupun himbauan kepada bank untuk membantu pemerintah melaksanakan program tertentu yang akan dilaksanakan. Misalnya bujukan itu berupa himbauan kepada bank umum untuk mengurangi kredit untuk sektor tertentu dan meningkatkan atau menurunkan suku bunga pinjaman bank umum. Karena instrumen ini hanya bersifat kualitatif, maka keberhasilan kebijakan moneter sangat tergantung pada kemauan bank umum untuk menuruti himbauan pemerintah melalui bank sentral.   Secara ringkas, bank sentral dapat menggunakan instrumen kebijakan moneter untuk mengatasi masalah overemployment dan underemployment seperti terlihat pada Tabel 8.2 berikut ini. 
 Tabel 8.2 Instrumen Kebijakan Moneter  Untuk Mengatasi Overemployment dan Underemployment 
Instrumen  Kebijakan Moneter
Kondisi Overemployment
Kondisi Underemployment
a. Operasi pasar terbuka b. Suku bunga diskonto c. Tingkat cadangan wajib d. Kredit selektif e. Bujukan moral
Menjual surat berharga Ditingkatkan  Ditingkatkan  TMP -
Membeli surat berharga Diturunkan  Diturunkan  EMP -  
KEBIJAKAN PENGENDALIAN HARGA 
 Selain kebijakn fiskal dan kebijakan moneter, ada jenis kebijakan lain yang dapat digunakan pemerintah untuk mencapai tujuan tertentu, yaitu kebijakan pengendalian harga. Kebijakan pengendalian harga ini ditujukan untuk memperkecil fluktuasi harga produk tertentu sehingga stabilitas perekonomian dapat terjaga. Ada dua bentuk kebijakan pengen- dalian harga, yaitu:
154     PENGANTAR EKONOMIKA MAKRO  
      P      S    
                                     E       
                           
    0                Q1            Q
a. Kebijakan harga tertinggi (ceiling price) b. Kebijakan harga terendah (floor price)  Jenis produk yang diatur dalam kebijakan terutama untuk barang yang bersifat strategis dan dibutuhkan oleh sebagian besar masyarakat. Kebijakan harga tertinggi ditujukan untuk menjaga apabila terjadi kenaikan harga, tidak melebihi tingkat harga kewajaran. Sebaliknya kebijakan harga terendah ditujukan untuk menjaga agar harga tidak turun begitu rendahnya. Kedua jenis kebijakan ini ditujukan untuk melindungi konsumen maupun produsen. Misalnya untuk beras diperlakukan kebijakan ceiling price dan floor price. Karena beras dibutuhkan oleh seluruh penduduk dari kelompok penduduk berpenghasilan rendah sampai dengan kelompok penduduk berpenghasilan tinggi, maka harga beras perlu diatur agar tidak melebihi harga kewajaran. Begitu pula sebaliknya apabila harga beras turun karena panen raya, maka petani perlu dilindungi aga harga beras tidak menjadi sangat murah. Secara grafis, kebijakan harga tertinggi dan kebijakan harga terendah dapat dilihat pada Kurva 8.1 berikut ini.           
     P1     
  Kurva 8.1 Kebijakan Pengaturan Harga 
 Dalam kondisi keseimbangan di titik E, jumlah keseimbangan adalah P1 dan harga keseimbangan Q1. pergeseran permintaan dan penawaran akan mengakibatkan harga berfluktuasi. Apabila permintaan naik, maka diharapkan kenaikan harga tidak melebihi harga tertinggi agar konsumen terlindungi. Sebaliknya melimpahnya penawaran tidak mengakibatkan harga turun dibawah harga terendah sehingga produsen terlindungi.   
Harga tertinggi
Harga terendah
BAB 8  KEBIJAKAN FISKAL DAN KEBIJAKAN MONETER   155  
Efektivitas Kebijakan Fiskal dan Moneter   Kurva LM seperti yang telah dibahas pada bab. 6, dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu:  a. Daerah Klasik atau classical range. Daerah klasik pada kurva LM adalah bagian yang sejajar dengan sumbu tingkat bunga (titik C ke atas).   b. Daerah jerat likuiditas atau liquidity trap. Daerah jerat likuiditas adalah kurva LM yang sejajar dengan tingkat pendapatan nasional ril. Pada daerah ini tingkat bunga sedemikian rendahnya sehingga harga obligasi menjadi tinggi. Dalam kondisi ini, masyarakat meramalkan akan terjadi penurunan harga obligasi sehingga uang yang dimiliki tidak digunakan untuk membeli obligasi tetapi diwujudkan dalam bentuk lain, misalnya dalam bentuk tabungan atau uang tunai.   c. Daerah tengah atau intermediate. Daerah tengah merupakan bagian kurva LM yang berada antara daerah klasik dan jerat likuiditas.  
        r (%)          LM 
             
           
           
              
         0            Y 
       Kurva 8.2 Kurva LM dan Pembagiannya 
a.  Efektivitas Kebijakan Fiskal 
 Untuk melihat efektivitas kebijakan fiskal, perhatikan Kurva 8.3. Dengan mensimu- lasikan pergeseran kurva IS, efektivitas kebijakan fiskal dapat dilihat dari pengaruhnya meningkatkan pendapatan nasional riil.      
          C   
A     B
Daerah Jerat Likuiditas
Daerah Tengah
Daerah Klasik
156     PENGANTAR EKONOMIKA MAKRO  
a. Daerah jerat likuiditas kebijakan fiskal sangat efektif. Dengan menggeser kurva IS sejauh a b, akan berakibat pada kenaikan pendapatan nasional riil juga sebesar ab. Kenaikan pendapatan nasional ini terjadi dari Ya ke Yb.  
b. Daerah tengah kebijakan fiskal kurang efektif. Pergeseran kurva IS sejauh cd hanya akan berhasil meningkatkan pendapatan nasional keseimbangan kurang dari jarak cd tersebut, yaitu dari Yc ke Ym. 
c. Daerah Klasik  kebijakan fiskal tidak efektif. Meskipun kurva IS digeser sejauh e f ataupun e g, tingkat pendapatan nasional riil tidak mengalami perubahan, yaitu tetap sebesar Ye.  
        r (%)          LM 
             
           
           
              
         0       Ya     Yb               Yc   Ym          Ye   Y 
Kurva 8.3 Kurva LM dan Efektivitas Kebijakan Fiskal 
b. Efektivitas Kebijakan Moneter 
 Efektivitas kebijakan moneter ditunjukkan Kurva 8.4. Dengan mensimulasikan perge- seran kurva IS dan kurva LM, efektivitas kebijakan moneter akan berpengaruh di tiga daerah, yaitu:  
a. Daerah jerat likuiditas kebijakan moneter tidak efektif. Pergeseran kurva LM dari LM1 ke LM2 tidak dapat meningkatkan tingkat bunga. Tingkat bunga tetap pada tingkat R sedangkan tingkat pendapatan nasional riil juga tidak mengalami perubahan.   
           IS          IS                 IS          IS             IS       e        f      g   
         c             a         b          d
BAB 8  KEBIJAKAN FISKAL DAN KEBIJAKAN MONETER   157  
b. Daerah tengah kebijakan moneter kurang efektif. Kebijakan moneter hanya menggeser sedikit tingkat pendapatan nasional riil.  
c. Daerah Klasik kebijakan moneter sangat efektif. Pergeseran kurva IS akan mengakibatkan pendapatan nasional naik lebih besar, yaitu dari Y2 ke Ye.  
        r (%)   LM2       LM1 
             
           
           
              
         0               Ya             Yb Yf Y2          Yc                        Y 
Kurva 8.4 Kurva IS-LM dan Efektivitas Kebijakan Moneter   
         IS                                             
      IS
 IS



Kebijakan moneter
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Kebijakan moneter adalah proses mengatur persediaan uang sebuah negara untuk mencapai tujuan tertentu; seperti menahan inflasi, mencapai pekerja penuh atau lebih sejahtera. Kebijakan moneter dapat melibatkan mengeset standar bunga pinjaman, "margin requirement", kapitalisasi untuk bank atau bahkan bertindak sebagai peminjam usaha terakhir atau melalui persetujuan melalui negosiasi dengan pemerintah lain.
Kebijakan moneter pada dasarnya merupakan suatu kebijakan yang bertujuan untuk mencapai keseimbangan internal (pertumbuhan ekonomi yang tinggi, stabilitas harga, pemerataan pembangunan) dan keseimbangan eksternal (keseimbangan neraca pembayaran) serta tercapainya tujuan ekonomi makro, yakni menjaga stabilisasi ekonomi yang dapat diukur dengan kesempatan kerja, kestabilan harga serta neraca pembayaran internasional yang seimbang. Apabila kestabilan dalam kegiatan perekonomian terganggu, maka kebijakan moneter dapat dipakai untuk memulihkan (tindakan stabilisasi). Pengaruh kebijakan moneter pertama kali akan dirasakan oleh sektor perbankan, yang kemudian ditransfer pada sektor riil. [1]
Kebijakan moneter adalah upaya untuk mencapai tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi secara berkelanjutan dengan tetap mempertahankan kestabilan harga. Untuk mencapai tujuan tersebut Bank Sentral atau Otoritas Moneter berusaha mengatur keseimbangan antara persediaan uang dengan persediaan barang agar inflasi dapat terkendali, tercapai kesempatan kerja penuh dan kelancaran dalam pasokan/distribusi barang.Kebijakan moneter dilakukan antara lain dengan salah satu namun tidak terbatas pada instrumen sebagai berikut yaitu suku bunga, giro wajib minimum, intervensi dipasar valuta asing dan sebagai tempat terakhir bagi bank-bank untuk meminjam uang apabila mengalami kesulitan likuiditas.
Daftar isi
Jenis-jenis Kebijakan Moneter
Pengaturan jumlah uang yang beredar pada masyarakat diatur dengan cara menambah atau mengurangi jumlah uang yang beredar. Kebijakan moneter dapat digolongkan menjadi dua, yaitu: [2]
Kebijakan moneter ekspansif (Monetary expansive policy)
Adalah suatu kebijakan dalam rangka menambah jumlah uang yang beredar. Kebijakan ini dilakukan untuk mengatasi pengangguran dan meningkatkan daya beli masyarakat (permintaan masyarakat) pada saat perekonomian mengalami resesi atau depresi. Kebijakan ini disebut juga kebijakan moneter longgar (easy money policy)
Kebijakan Moneter Kontraktif (Monetary contractive policy)
Adalah suatu kebijakan dalam rangka mengurangi jumlah uang yang beredar. Kebijakan ini dilakukan pada saat perekonomian mengalami inflasi. Disebut juga dengan kebijakan uang ketat (tight money policy)
Kebijakan moneter dapat dilakukan dengan menjalankan instrumen kebijakan moneter, yaitu antara lain : [3]
Operasi Pasar Terbuka (Open Market Operation)
Operasi pasar terbuka adalah cara mengendalikan uang yang beredar dengan menjual atau membeli surat berharga pemerintah (government securities). Jika ingin menambah jumlah uang beredar, pemerintah akan membeli surat berharga pemerintah. Namun, bila ingin jumlah uang yang beredar berkurang, maka pemerintah akan menjual surat berharga pemerintah kepada masyarakat. Surat berharga pemerintah antara lain diantaranya adalah SBI atau singkatan dari Sertifikat Bank Indonesia dan SBPU atau singkatan atas Surat Berharga Pasar Uang.
Fasilitas Diskonto (Discount Rate)
Fasilitas diskonto adalah pengaturan jumlah uang yang beredar dengan memainkan tingkat bunga bank sentral pada bank umum. Bank umum kadang-kadang mengalami kekurangan uang sehingga harus meminjam ke bank sentral. Untuk membuat jumlah uang bertambah, pemerintah menurunkan tingkat bunga bank sentral, serta sebaliknya menaikkan tingkat bunga demi membuat uang yang beredar berkurang.
Rasio Cadangan Wajib (Reserve Requirement Ratio)
Rasio cadangan wajib adalah mengatur jumlah uang yang beredar dengan memainkan jumlah dana cadangan perbankan yang harus disimpan pada pemerintah. Untuk menambah jumlah uang, pemerintah menurunkan rasio cadangan wajib. Untuk menurunkan jumlah uang beredar, pemerintah menaikkan rasio.
Imbauan Moral (Moral Persuasion)
Himbauan moral adalah kebijakan moneter untuk mengatur jumlah uang beredar dengan jalan memberi imbauan kepada pelaku ekonomi. Contohnya seperti menghimbau perbankan pemberi kredit untuk berhati-hati dalam mengeluarkan kredit untuk mengurangi jumlah uang beredar dan menghimbau agar bank meminjam uang lebih ke bank sentral untuk memperbanyak jumlah uang beredar pada perekonomian.
Tujuan Kebijakan Moneter
Bank Indonesia memiliki tujuan untuk mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Tujuan ini sebagaimana tercantum dalam UU No. 3 tahun 2004 pasal 7 tentang Bank Indonesia. [4]
Hal yang dimaksud dengan kestabilan nilai rupiah antara lain adalah kestabilan terhadap harga-harga barang dan jasa yang tercermin pada inflasi. Untuk mencapai tujuan tersebut, sejak tahun 2005 Bank Indonesia menerapkan kerangka kebijakan moneter dengan inflasi sebagai sasaran utama kebijakan moneter (Inflation Targeting Framework) dengan menganut sistem nilai tukar yang mengambang (free floating). Peran kestabilan nilai tukar sangat penting dalam mencapai stabilitas harga dan sistem keuangan. Oleh karenanya, Bank Indonesia juga menjalankan kebijakan nilai tukar untuk mengurangi volatilitas nilai tukar yang berlebihan, bukan untuk mengarahkan nilai tukar pada level tertentu.
Dalam pelaksanaannya, Bank Indonesia memiliki kewenangan untuk melakukan kebijakan moneter melalui penetapan sasaran-sasaran moneter (seperti uang beredar atau suku bunga) dengan tujuan utama menjaga sasaran laju inflasi yang ditetapkan oleh Pemerintah. Secara operasional, pengendalian sasaran-sasaran moneter tersebut menggunakan instrumen-instrumen, antara lain operasi pasar terbuka di pasar uang baik rupiah maupun valuta asing, penetapan tingkat diskonto, penetapan cadangan wajib minimum, dan pengaturan kredit atau pembiayaan. Bank Indonesia juga dapat melakukan cara-cara pengendalian moneter berdasarkan Prinsip Syariah.













Kebijakan fiskal
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Kebijakan fiskal merujuk pada kebijakan yang dibuat pemerintah untuk mengarahkan ekonomi suatu negara melalui pengeluaran dan pendapatan (berupa pajak) pemerintah. Kebijakan fiskal berbeda dengan kebijakan moneter, yang bertujuan men-stabilkan perekonomian dengan cara mengontrol tingkat bunga dan jumlah uang yang beredar. Instrumen utama kebijakan fiskal adalah pengeluaran dan pajak. Perubahan tingkat dan komposisi pajak dan pengeluaran pemerintah dapat memengaruhi variabel-variabel berikut:
Permintaan agregat dan tingkat aktivitas ekonomi
Pola persebaran sumber daya
Distribusi pendapatan
Pemerintah menjalankan kebijakan fiskal adalah dengan maksud untuk mempengaruhi jalannya perekonomian atau dengan perkataan lain, dengan kebijakan fiskal pemerintah berusaha mengarahkan jalannya perekonomian menuju keadaan yang diinginkannya. Dengan melalui kebijakan fiskal, antara lain pemerintah dapat mempengaruhi tingkat pendapatan nasional, dapat mempengaruhi kesempatan kerja, dapat mempengaruhi tinggi rendahnya investasi nasional, dan dapat mempengaruhi distribusi penghasilan nasional.

0 komentar:

Post a Comment